Senin, 17 Maret 2025

Punya Anak Memang Semahal Itu?

 Kemarin daku melihat selebaran berisi biaya SPP dan uang gedung di sebuah sekolah. Setelah meneliti angka-angka itu rasanya langsung keselek. Penyebabnya karena uang gedung mencapai puluhan juta rupiah, sedangkan SPP-nya hampir 8 juta rupiah.

                                          Unsplash

Biaya sekolah memang semakin naik-naik ke puncak gunung, ya! Belum termasuk untuk beli seragam, sepatu, ongkos transportasi, dll. Ini baru untuk sekolah (yang wajib dipersiapkan orang tua dalam jangka panjang ketika baru punya anak).

Orang tua juga wajib memikirkan biaya lain sejak ananda masih bayi: untuk beli baju, popok, topi, gendongan, baby box, tisu basah, dll. Juga masih ditambah uang untuk syukuran aqiqah yang nominalnya lumayan.

Kebutuhan Anak yang Semakin Banyak

Ketika anak lahir maka orang tua sibuk membelikan benda yang khusus untuknya. Misalnya piring plastik yang satu set dengan sendok dan gelas. Ada pula celemek yang dipakai saat makan, stroller, baby walker, dan blender untuk menghaluskan bahan MPASI (makanan pendamping ASI), dll.

                                      Unsplash

Saat anak sudah balita maka kebutuhannya juga bertambah banyak. Mulai dari baju baru (karena pertumbuhannya pesat), sepatu, buku bantal, dll. Kalau dulu anak memakai baju lungsuran dianggap wajar, sekarang sudah jarang, karena memang tidak punya kakak / sepupu.

Kebutuhan anak yang semakin banyak itu dirasa wajar karena demi kenyamanan hidup. Apalagi zaman juga berubah sehingga standar kehidupan juga tidak bisa disamakan dengan 20-30 tahun lalu. Misalnya dulu kalau bikin MPASI cukup pakai saringan kawat dan ulekan, maka sekarang peralatannya makin beragam seperti blender, slow cooker, dll.

Akan tetapi, apakah punya anak memang mahal banget dan berbiaya puluhan juta rupiah per bulan? Gaji setara UMR belum cukup untuk membesarkan seorang anak karena memang dia menyedot biaya tinggi?

Punya Anak Itu Sangat Mahal?

Sebenarnya tulisan ini terinspirasi dari 2 orang selebgram yang bercerita kalau anaknya itu “mahal”. Selebgram A bilang kalau anaknya butuh puluhan juta rupiah per bulan karena ikut les gymnastic, bahasa asing, dan sekolah di TK elit. Sementara selebgram B juga bercerita kalau anaknya kursus matematika dan pelajaran lain dengan biaya jutaan rupiah.

                                                       Unsplash

Anak zaman now (walau bukan dari keluarga artis) juga mulai ikut les padahal masih piyik, misalnya les calistung dan bahasa inggris. Malah sekarang orang tua berlomba-lomba membelikan anaknya gadget terbaru. Alasannya karena kita ada di era teknologi informasi.

Jangan kaget kalau sekarang biaya masuk TK (atau playgroup) eksklusif bisa lebih mahal daripada biaya kuliah orang tuanya dulu. Bahkan ada penasehat keuangan yang menyarankan orang tua untuk menabung saat baru menikah. Jadi ketika anaknya masuk sekolah sudah punya “pegangan” uang.

                                   Unsplash

Kebutuhan anak yang dianggap wajar akhir-akhir ini adalah baju branded dan mainan impor. Apalagi kalau orang tuanya eksis di media sosial. Anak butuh outfit yang keren walau harganya menguras kantong.

Akhirnya banyak orang yang beranggapan kalau punya anak itu sangat mahal. Penyebabnya karena anak butuh biaya (di luar sekolah) dan nominalnya lebih dari 10 juta rupiah. Itu baru satu anak, kalau anaknya 2 atau 3 berarti tinggal dikalikan saja.

Keracunan Standar Sosial Media

Pertanyaannya, dengan kebutuhan anak yang semakin banyak, apakah tiap orang tua mampu membelikannya? Padahal jumlah orang kaya di negeri ini tentu lebih sedikit daripada masyarakat kelas menengah (atau menengah ke bawah). Berapa sih orang tua yang mampu membelikan anaknya 10 lego per bulan dengan alasan “sayang anak”?

                                     Unsplash

Jadi ibu-ibu, jangan keracunan standar sosial media. Kalau ada selebgram yang mengikutkan anaknya les gymnastic jangan ikutan FOMO (fear of missing out). Pertama, anak belum tentu cocok dengan kegiatan tersebut. Minatnya bahasa tapi dipaksa les coding dan robotik. Akibatnya anak jadi stress berat karena dipaksa.

Kedua, jika memaksakan diri maka akan membuat kantong bolong. Jangan sampai gara-gara berprinsip “anak harus mendapatkan yang terbaik” dan keracunan standar sosial media maka situasi keuangan keluarga jadi kacau-balau. Demi sekolah dan les yang mahal maka bela-belain berutang. Apalagi kena p1Nj0L, amit-amit, jangaan!

Mahal Belum Tentu Cocok

Ingat ya, standar anak “mahal” pada keluarga lain belum tentu cocok diterapkan ke keluarga sendiri. Mahal belum tentu cocok karena sekolah dan kursus anak seharusnya disesuaikan dengan minat dan bakatnya. Jadi, lebih baik konsultasi ke psikolog dulu sebelum memasukkan anak ke suatu sekolah dan kursus.

                                                 Koleksi pribadi


 Anak yang tipe belajarnya kinestatik (seperti Saladin) lebih cocok belajar di sekolah alam yang banyak praktek daripada teori. Jadi daku tidak memaksanya masuk ke sekolah elit karena memang tidak cocok.

Begitu juga dengan anak yang lebih fokus jika belajarnya semi privat. Jangan masukkan ke SD yang jumlah siswanya sampai 30 orang per kelas. Dengan alasan sekolah itu mentereng.

Anak Tidak Butuh Kemewahan

Lantas apakah anak juga harus pakai barang branded setiap hari? Sebenarnya bayi atau balita belum mengerti perbedaan antara baju bermerek atau yang biasa saja. Jangan beli baju impor demi kelihatan keren, karena gengsi orang tuanya. Yang penting fungsinya, bukan harganya, bukan?

                                   Unsplash

Punya anak sebenarnya tidak semahal itu karena anak tidak butuh kemewahan. Toh mereka juga tidak tahu-menahu kalau foto dan videonya dijadikan konten demi kelihatan keren di sosial media. Mereka akan tetap ngiler dan gumoh di baju branded, dan semahal apapun pakaian itu akan kotor tanpa sengaja.

Sesuaikan dengan Kebutuhan

Lantas apakah berarti anak tidak butuh sekolah dan kursus yang mahal? Bukan begitu maksudnya. Sesuaikan saja dengan kebutuhan anaknya, jadi orang tua wajib mengobservasi tiap hari.

Jika anak sudah menunjukkan minat pada kitab suci maka bisa dimasukkan ke sekolah tahfidz. Kalau anaknya suka bahasa asing maka cari sekolah yang bilingual atau internasional. Tapi pastikan biaya sekolahnya masih sesuai dengan gaji orang tua.

                                      Pexels        

Begitu juga dengan kursus. Pastikan anak enjoy mengikuti les karena sebenarnya dia juga sudah capek (sekolahnya sampai sore, kan?). Memasukkan anak di 1-2 jenis kursus (misalnya berenang dan bahasa asing) kurasa sudah cukup, dan lagi-lagi pastikan biayanya masih on budget.

Ajarkan Sendiri

Alternatif lain, orang tua bisa mengajarkan sendiri ke anak. Misalnya untuk bahasa inggris diajari oleh sang ibu, mengaji diajari oleh ayah, dll. Jadi anak tetap dapat pengetahuan di luar sekolah tanpa membebani keuangan keluarga.

                                 Unsplash

Apakah orang tuanya harus expert? Sebenarnya tidak karena ilmu itu bisa dipelajari. Toh ada banyak tutorial di internet. Jadi orang tua bisa membuat kurikulum khusus saat mengajari anaknya bahasa asing dan pelajaran lain.

Kesimpulannya, punya anak memang butuh biaya banyak tapi tidak sampai menjulang. Banyak atau sedikitnya uang yang dikeluarkan oleh orang tua, demi mereka, sebenarnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan ananda. Orang tua juga jangan FOMO dan terlalu teracuni standar sosial media, yang bisa merusak keseimbangan neraca keuangan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar