Kemarin daku melihat selebaran berisi biaya SPP dan uang gedung di sebuah sekolah. Setelah meneliti angka-angka itu rasanya langsung keselek. Penyebabnya karena uang gedung mencapai puluhan juta rupiah, sedangkan SPP-nya hampir 8 juta rupiah.
UnsplashBiaya sekolah memang
semakin naik-naik ke puncak gunung, ya! Belum termasuk untuk beli seragam,
sepatu, ongkos transportasi, dll. Ini baru untuk sekolah (yang wajib
dipersiapkan orang tua dalam jangka panjang ketika baru punya anak).
Orang tua juga wajib
memikirkan biaya lain sejak ananda masih bayi: untuk beli baju, popok, topi,
gendongan, baby box, tisu basah, dll.
Juga masih ditambah uang untuk syukuran aqiqah yang nominalnya lumayan.
Kebutuhan
Anak yang Semakin Banyak
Ketika anak lahir maka
orang tua sibuk membelikan benda yang khusus untuknya. Misalnya piring plastik
yang satu set dengan sendok dan gelas. Ada pula celemek yang dipakai saat
makan, stroller, baby walker, dan blender untuk menghaluskan bahan MPASI
(makanan pendamping ASI), dll.
Saat anak sudah balita
maka kebutuhannya juga bertambah banyak. Mulai dari baju baru (karena
pertumbuhannya pesat), sepatu, buku bantal, dll. Kalau dulu anak memakai baju lungsuran dianggap wajar, sekarang sudah
jarang, karena memang tidak punya kakak / sepupu.
Kebutuhan anak yang
semakin banyak itu dirasa wajar karena demi kenyamanan hidup. Apalagi zaman
juga berubah sehingga standar kehidupan juga tidak bisa disamakan dengan 20-30
tahun lalu. Misalnya dulu kalau bikin MPASI cukup pakai saringan kawat dan
ulekan, maka sekarang peralatannya makin beragam seperti blender, slow cooker, dll.
Akan tetapi, apakah
punya anak memang mahal banget dan berbiaya puluhan juta rupiah per bulan? Gaji
setara UMR belum cukup untuk membesarkan seorang anak karena memang dia
menyedot biaya tinggi?
Punya
Anak Itu Sangat Mahal?
Sebenarnya tulisan ini
terinspirasi dari 2 orang selebgram yang bercerita kalau anaknya itu “mahal”. Selebgram
A bilang kalau anaknya butuh puluhan juta rupiah per bulan karena ikut les gymnastic, bahasa asing, dan sekolah di
TK elit. Sementara selebgram B juga bercerita kalau anaknya kursus matematika
dan pelajaran lain dengan biaya jutaan rupiah.
Anak zaman now (walau bukan dari keluarga artis)
juga mulai ikut les padahal masih piyik,
misalnya les calistung dan bahasa inggris. Malah sekarang orang tua
berlomba-lomba membelikan anaknya gadget terbaru.
Alasannya karena kita ada di era teknologi informasi.
Jangan kaget kalau
sekarang biaya masuk TK (atau playgroup)
eksklusif bisa lebih mahal daripada biaya kuliah orang tuanya dulu. Bahkan ada
penasehat keuangan yang menyarankan orang tua untuk menabung saat baru menikah.
Jadi ketika anaknya masuk sekolah sudah punya “pegangan” uang.
Kebutuhan anak yang
dianggap wajar akhir-akhir ini adalah baju branded
dan mainan impor. Apalagi kalau orang tuanya eksis di media sosial. Anak
butuh outfit yang keren walau
harganya menguras kantong.
Akhirnya banyak orang
yang beranggapan kalau punya anak itu sangat
mahal. Penyebabnya karena anak butuh biaya (di luar sekolah) dan nominalnya
lebih dari 10 juta rupiah. Itu baru satu anak, kalau anaknya 2 atau 3 berarti
tinggal dikalikan saja.
Keracunan
Standar Sosial Media
Pertanyaannya, dengan
kebutuhan anak yang semakin banyak, apakah tiap orang tua mampu membelikannya?
Padahal jumlah orang kaya di negeri ini tentu lebih sedikit daripada masyarakat
kelas menengah (atau menengah ke bawah). Berapa sih orang tua yang mampu
membelikan anaknya 10 lego per bulan dengan alasan “sayang anak”?
Jadi ibu-ibu, jangan
keracunan standar sosial media. Kalau ada selebgram yang mengikutkan anaknya
les gymnastic jangan ikutan FOMO (fear of missing out). Pertama, anak
belum tentu cocok dengan kegiatan tersebut. Minatnya bahasa tapi dipaksa les coding dan robotik. Akibatnya anak jadi
stress berat karena dipaksa.
Kedua, jika memaksakan
diri maka akan membuat kantong bolong. Jangan sampai gara-gara berprinsip “anak
harus mendapatkan yang terbaik” dan keracunan standar sosial media maka situasi
keuangan keluarga jadi kacau-balau. Demi sekolah dan les yang mahal maka
bela-belain berutang. Apalagi kena p1Nj0L, amit-amit, jangaan!
Mahal
Belum Tentu Cocok
Ingat ya, standar anak
“mahal” pada keluarga lain belum tentu cocok diterapkan ke keluarga sendiri.
Mahal belum tentu cocok karena sekolah dan kursus anak seharusnya disesuaikan
dengan minat dan bakatnya. Jadi, lebih baik konsultasi ke psikolog dulu sebelum
memasukkan anak ke suatu sekolah dan kursus.
Anak yang tipe
belajarnya kinestatik (seperti Saladin) lebih cocok belajar di sekolah alam yang
banyak praktek daripada teori. Jadi daku tidak memaksanya masuk ke sekolah elit
karena memang tidak cocok.
Begitu juga dengan anak
yang lebih fokus jika belajarnya semi privat. Jangan masukkan ke SD yang jumlah
siswanya sampai 30 orang per kelas. Dengan alasan sekolah itu mentereng.
Anak
Tidak Butuh Kemewahan
Lantas apakah anak juga
harus pakai barang branded setiap
hari? Sebenarnya bayi atau balita belum mengerti perbedaan antara baju bermerek
atau yang biasa saja. Jangan beli baju impor demi kelihatan keren, karena
gengsi orang tuanya. Yang penting fungsinya, bukan harganya, bukan?
Punya anak sebenarnya
tidak semahal itu karena anak tidak butuh kemewahan. Toh mereka juga tidak
tahu-menahu kalau foto dan videonya dijadikan konten demi kelihatan keren di sosial
media. Mereka akan tetap ngiler dan gumoh di baju branded, dan semahal apapun pakaian itu akan kotor tanpa sengaja.
Sesuaikan
dengan Kebutuhan
Lantas apakah berarti
anak tidak butuh sekolah dan kursus yang mahal? Bukan begitu maksudnya.
Sesuaikan saja dengan kebutuhan anaknya, jadi orang tua wajib mengobservasi
tiap hari.
Jika anak sudah menunjukkan minat pada kitab suci maka bisa dimasukkan ke sekolah tahfidz. Kalau anaknya suka bahasa asing maka cari sekolah yang bilingual atau internasional. Tapi pastikan biaya sekolahnya masih sesuai dengan gaji orang tua.
PexelsBegitu juga dengan
kursus. Pastikan anak enjoy mengikuti
les karena sebenarnya dia juga sudah capek (sekolahnya sampai sore, kan?).
Memasukkan anak di 1-2 jenis kursus (misalnya berenang dan bahasa asing) kurasa
sudah cukup, dan lagi-lagi pastikan biayanya masih on budget.
Ajarkan
Sendiri
Alternatif lain, orang
tua bisa mengajarkan sendiri ke anak. Misalnya untuk bahasa inggris diajari
oleh sang ibu, mengaji diajari oleh ayah, dll. Jadi anak tetap dapat
pengetahuan di luar sekolah tanpa membebani keuangan keluarga.
Apakah orang tuanya
harus expert? Sebenarnya tidak karena
ilmu itu bisa dipelajari. Toh ada banyak tutorial di internet. Jadi orang tua
bisa membuat kurikulum khusus saat mengajari anaknya bahasa asing dan pelajaran
lain.
Kesimpulannya, punya
anak memang butuh biaya banyak tapi tidak sampai menjulang. Banyak atau
sedikitnya uang yang dikeluarkan oleh orang tua, demi mereka, sebenarnya bisa
disesuaikan dengan kebutuhan ananda. Orang tua juga jangan FOMO dan terlalu
teracuni standar sosial media, yang bisa merusak keseimbangan neraca keuangan
keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar