Tiap ibu pasti sayang anaknya. Tapi rasa sayang kadang menjàdi berlebihan dan posesif. Anak jadi susah bergerak, sering dilarang beraktivitas, tidak boleh keluar rumah, dll. Dan ternyata ibu itu adalah daku....
Daku dan SaladinBagaimana bisa terjadi seperti ini? Keposesifan muncul karena trauma yang ada sampai bertahun-tahun. Penyebabnya karena tahun 2019, saat Saladin masih TK B, dia pernah kabur dari rumah (neneknya) selama beberapa jam.
Kronologi Saladin Kabur dari Rumah
Kala itu Saladin masih hobi berlari dan memanjat. Dia lari
seenaknya sendiri lalu naik ke atap mobil, loncat turun, dan lari ke arah
TK-nya. Akhirnya daku dan kakek-neneknya panik mencari. Omnya Saladin memeriksa
ke supermarket dekat rumah, ternyata zonk.
Saladin di hari lain, saat memanjat pagar rumah
Daku dibonceng kakeknya Saladin dan dengan sepeda motor kami
keliling perumahan. Masih tidak ada. Sekitar satu jam kemudian, ada tetangga
yang kasih informasi kalau Saladin ditemukan di perumahan sebelah.
Rasanya jantungku mau copot. Saladin ketemu dan untuk daku masih
bisa mengendalikan diri untuk tidak histeris atau menangis di depan umum. Dia
malah senyum-senyum karena makan kue, dan baru nyelonong masuk ke toko kue di perumahan sebelah!
Mau kasih keterangan dulu ya. Saladin adalah anak kinestetik dan
over aktif (dulu sudah pernah konsultasi ke psikolog anak). Sudah pernah terapi
perilaku. Tapi kadang kumat usilnya dan mungkin saat itu dia cari perhatian
sehingga memutuskan untuk pergi tanpa berpamitan.
Akan tetapi peristiwa itu membuatku trauma. Akhirnya Saladin lebih sering dikurung di rumah. Pintu dan pagar dikunci dan kuncinya disembunyikan (kalau kuncinya ada pasti sudah diambil bocah lalu dipakai untuk membuka pintu). Tapi dia lebih banyak akal dengan loncat jendela. Untung di lantai satu dan lekas ketahuan.
Saladin Beraksi di Rumah Baru
Beberapa bulan setelah kejadian kaburnya Saladin, kami
sekeluarga pindah ke rumah sendiri (sebelumnya serumah dengan ortuku). Daku
ternyata masih trauma dan mengurungnya di rumah. Saladin mulai gelisah ingin
jalan-jalan, lalu loncat keluar jendela. Sampai akhirnya jendela dipaku oleh
sang ayah.
Sejak balita hobi memanjat
Di lain hari, daku kaget karena Saladin berteriak minta tolong. Saat
keluar kamar ternyata dia sudah ada di halaman belakang, memanjat tembok dan
posisinya ada di atas atap rumah tetangga. Memang rumah belum direnovasi
sehingga halaman belakang masih semi terbuka.
Tak kuduga ternyata Saladin bisa memanjat setinggi itu. Bisa jadi
dia memanfaatkan tumpukan pasir di pojok halaman belakang untuk tempat awal
memanjat, lalu dengan lincah beraksi seperti Spiderman. Akan tetapi begitu
kusuruh turun, dia malah ngacir dan
meloncat lagi. Untungnya tidak patah tulang!
Bagaimana bisa daku mengenyahkan trauma jika punya anak seperti
Saladin? Haruskah dia ikut terapi perilaku lagi? diri ini hanya bisa menangis
sambil memeluknya.
Terkurung Karena Pandemi
Beberapa bulan kemudian pandemi melanda seluruh dunia. Saladin
makin terkurung di dalam rumah. Tapi akhirnya dia terbiasa berkegiatan di dalam
ruangan, paling hanya manjat sampai ke atas lemari.
Setelah pandemi mulai mereda (tahun 2021-2022) dan masyarakat
boleh berkegiatan di luar ruangan (walau harus pakai masker), kami agak
bernafas lega. Kala itu, akhirnya daku menyadari kesalahan: jika Saladin terus
dikurung dan daku semakin posesif maka dia tidak bisa belajar bergaul dengan
lingkungan sekitar.
Belajar di Rumah
Saladin mulai bosan di rumah saja, apalagi masa school from home-nya lebih dari setahun.
Dia hanya asyik menonton film kartun lalu saat bosan main air di kamar mandi.
Maaf ya, nak!
Lalu bagaimana cara mengatasi keadaan ini? Tidak mungkin terjadi
bertahun-tahun sampai dia dewasa, jadi anak kurungan. Saladin memang anak
tunggal oleh karena itu daku lebih posesif. Apalagi trauma masih terus
membayangi.
Belajar Mindfulness
Rasa trauma memang tidak enak dan bisa menghantui seumur hidup.
Akan tetapi daku terus berjuang untuk hidup normal. Jangan terpaku pada masa
lalu yang membelenggu karena rasanya tidak enak, dan berpengaruh buruk pada
Saladin karena dia jadi tidak berkembang (karena jarang bergaul ke luar rumah).
Trauma membuat sebagian kewarasanku tekurung
Salah satu cara untuk melepas trauma adalah dengan belajar mindfulness untuk meningkatkan
kesadaran di masa kini dan melepaskan diri dari ikatan masa lalu. Dipandu oleh
seorang konselor keluarga, daku disarankan untuk lebih sering grounding (jalan
tanpa alas kaki) dan menghirup udara segar. Alhamdulillah pelan-pelan traumanya
mulai pudar.
Belajar Mempercayai Anak
Daku harus berani mempercayainya untuk bergaul dan keluar rumah
sendiri. Ini terjadi sekitar tahun 2022. Pertama, Saladin kuajak untuk bermain
di lapangan dekat rumah. Awalnya kutemani. Akhirnya dia berani sendiri, dan
kembali ke rumah dengan bahagia. Mungkin karena merasa sudah dipercaya oleh
orang tuanya.
Kemudian Saladin juga kuajak ke toko kelontong di RT sebelah. Dia
kupersilakan untuk memilih snack dan eskrim kesukaannya. Sambil kuajari cara
belanja sendiri. Dia sangat senang karena bisa jajan secara langsung
(sebelumnya daku yang membelikan jadi banyak stock di rumah).
Alhamdulillah ibu pemilik toko sangat baik. Bahkan beliau cerita
kalau dulu putra sulungnya ABK (autis). Akan tetapi sudah melewati berbagai
terapi sehingga si mas tersebut bisa sekolah dan kuliah dengan normal, dan
tidak tampak kalau waktu kecil autis.
Kembali ke Saladin. Daku sering memeluknya dan minta maaf karena
terlalu sering melarang dan posesif. Bahkan saat dia sudah berusia 10 tahun pun
kalau ke toko masih kutemani, takut kabur lagi. Rasa trauma ternyata masih
mengakar.
Foto berdua
Akhirnya daku terus mengajari Saladin untuk berani belanja
sendiri. Apalagi dia sudah mahir hitungan ribuan dan paham untuk bertransaksi.
Dia jadi bisa ke toko sendiri tanpa ada drama.
Alhamdulillah Saladin sudah berani jalan kaki dan belanja
sendiri ke toko (di dalam perumahan). Bahkan dia juga mau dimintai tolong untuk
membelikan kecap dan barang-barang kebutuhan dapur, asal bawa kertas catatan
belanja dan tentu saja uang. Betapa senangnya punya asisten pribadi cilik, dan
dia juga bangga karena dipercaya.
Melepaskannya untuk Kemping
Salah satu momen untuk “melepas” dan mempercayai Saladin adalah
dengan membiarkannya ikut kemping di sekolah. Pasca pandemi, tiap tahun SD-nya
Saladin mengadakan Ramadan camp
selama 3 hari. Awalnya daku takut dia menangis karena gelap, padahal dia sudah
mengantisipasi dengan bawa senter!
Ternyata Saladin lebih berani dari yang kuduga. Kekhawatiranku tidak
terjadi sama sekali. Saladin bisa kemping dengan bahagia di sekolah dan bergaul
dengan teman-temannya. Bahkan dia ingin ikut kemping lagi.
Melepaskan Diri dari Ikatan Trauma
Jadi, untuk melepaskan trauma memang butuh usaha. Orang tua yang
trauma sepertiku dulu bisa melakukan hal yang menyebalkan (menurut anak)
misalnya dengan bersikap posesif. Padahal mereka melakukannya karena sayang
tapi berlebihan. Pastikan orang tua menerima bahwa kejadian itu sudah lama
berlalu, dan konsultasi ke konselor keluarga, psikolog, atau psikiater.
Pesanku, jangan terpaku pada masa lalu dan yakinlah bahwa anak
akan berkembang. Memang ada masa di mana anak selalu menggoda orang tuanya dan
bersikap seenaknya, padahal sudah diajari baik-baik di rumah. Nanti pelan-pelan
dia akan belajar tertib dan tumbuh menjadi lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar