Menjadi ibu membuat wanita bahagia
tapi di balik kesenangan ada sederet tugas yang bertumpuk. Mulai dari
membersihkan rumah (jika tidak ada PRT), mencuci, memasak, dll. Ibu juga
mengurus keperluan suami dan anak.
Khusus untuk anak, ibu juga mengasuh, memandikan (saat masih kecil), membuatkan makanan khusus (MPASI), dll. Seorang ibu juga masih sempat untuk menyiram tanaman dan melakukan kegiatan lain. Apalagi bagi ibu yang wanita karir, pasti lebih sibuk lagi.
Sebanyak itu tugas seorang ibu dan
akhirnya membuat remuk, lelah lahir batin. Rasanya hidup hanya untuk membuat
semuanya sempurna. Rumah yang bagus dan kinclong, anak yang sehat dan cerdas,
baju-baju rapi di lemari, dll.
Terlalu Mengejar Kesempurnaan
Pernahkah ibu merasa capek padahal
sudah tidur selama 8 jam sehari? Atau merasa marah terus-menerus padahal anak
hanya melakukan kesalahan kecil (misalnya tak sengaja menumpahkan minuman). Ini
bahaya lho!
Unsplash
Bisa saja kita punya rumah bersih,
makanan siap santap, anak yang cakep, hampir sempurna di semua sisi. Tapi
ibunya stress karena terlalu mengejar kesempurnaan. Ibu jadi bertanya-tanya, di
mana letak kebahagiaan sejati?
Ibu-ibu tolong ya! Jangan mengejar
kesempurnaan karena itu hanya milik Tuhan. Saat anak tak sengaja membuat rumah
kotor bukan berarti dia sengaja. Jangan dimarahi apalagi dicubiti.
Terlalu mengejar kesempurnaan itu
melelahkan banget. Akibatnya anak jadi takut berbuat salah. Padahal kesalahan
terjadi sebagai salah satu bentuk pembelajaran, bukan?
Mengesampingkan Kebutuhan Pribadi
demi Orang Lain
Ada juga ibu yang mati-matian
berkorban demi orang lain (misalnya anak dan suami), tapi akhirnya
mengesampingkan kebutuhan pribadi. Misalnya saat punya uang dari hasil bisnis
sampingan, malah belikan anak mainan mahal. Padahal dia sendiri juga butuh
skincare dan bedak karena yang lama sudah habis.
Jangan diulangi ya, Bu! Membelikan
anak itu boleh tapi jangan sampai jadi punya perasaan lelah berkorban. Saat
anaknya sudah punya mainan dan baju yang bagus, tak ada salahnya beli baju atau
kebutuhan pribadi ibu. Hal ini bukan egois, tapi sebuah kewajaran.
Jangan terlalu sering berkorban
sampai akhirnya merasa tidak ada gunanya bekerja. Lha hasil kerja kan buat
seluruh anggota keluarga, jadi diri sendiri juga berhak dong untuk belanja. Kalau
ada uangnya mengapa tidak shopping?
Toh tidak setiap hari dan masih on
budget.
Melupakan Kesehatan Sendiri
Sering juga kulihat fenomena saat
ibu terlalu sibuk membuat rumah bersih dan rapi karena tidak ada PRT. Akhirnya
setelah subuh mandi lalu memasak sarapan dan bekal. Saat anak sekolah, rumah
dirapikan sampai sempurna.
Sayangnya semua kerapian membawa
korban karena ibu lupa tidak sarapan. Alasannya nanti saja setelah selesai
mencuci. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi.
Kalau lapar ya makan, atuh! Isi tenaga dulu sebelum beberes. Jika sering telat makan
maka bisa kena maag dan akhirnya pusing sendiri, bukan?
Jangan biarkan diri ini sakit
gara-gara alasan sepele seperti telat makan. Atau, ibu jadi kram tiap malam
karena terlalu rajin bersih-bersih tanpa kenal waktu. Utamakan kesehatan, bukan
kesempurnaan.
Seperti Apa Keluarga yang Sempurna?
Fenomena lain yang ada di keluarga-keluarga di Indonesia adalah menunjukkan keluarga yang sempurna. Ayah bekerja di kantor. Ibu yang jadi wanita karir. Atau ibu yang bekerja dari rumah. Anak berprestasi dan punya banyak piala.
Akan tetapi demi label kesempurnaan,
semua jadi korban. Anak dipaksa ikut les ini dan itu sampai stress sendiri.
Suami disuruh lembur karena cicilan mobil mewah yang tinggi sekali. Apakah mau
hidup seperti ini? Bukannya sempurna malah mumet!
Kasihan sekali jika anak disuruh
berprestasi tapi tidak sesuai dengan minatnya. Dia suka seni malah disuruh
belajar matematika. Dia juga dipaksa ikut banyak kegiatan dengan alasan demi
masa depannya.
Tolong jangan ambil hak bermain
anak! Masih ingatkah kalian berita anak yang killing his parents karena stress disuruh terus belajar?
Menyedihkan sekali karena anak bisa melakukan tindakan kriminal gara-gara
ditekan terus-menerus.
Jangan Keracunan Standar Sosial Media
Sosial media juga berpengaruh besar
terhadap standar kebahagiaan dan kesempurnaan. Di mana ditampakkan keluarga
bahagia adalah yang kaya-raya. Banyak selebgram yang flexing kekayaan dan membuat followers jadi iri hati.
Saat keracunan standar sosial media
maka lagi-lagi memakan banyak korban. Suami disuruh romantis setiap saat.
Padahal bahasa cintanya berbeda. Jika beliau sudah tanggung jawab dan sabar,
mengapa masih dicari celanya gara-gara tidak pernah mengajak candle light dinner?
Fokus pada Keluarga Sendiri
Sudahlah, Bu! Lebih baik fokus pada
keluarga sendiri alih-alih melihat keluarga orang lain yang terlihat lebih
sempurna. Apalagi 'hanya' keluarga selebgram. Percayalah, mereka hanya
menampakkan yang baik di sosial media, bukan berarti kehidupannya sempurna
100%.
Jika ibu fokus pada keluarga sendiri
maka ibu lebih rileks dan tidak mudah cemberut saat tetangganya manasin mobil.
Sementara kita masih manasin sayur tiap hari. Iri dan dengki tidak akan membawa
hasil yang bagus. Lebih baik fokus memperbaiki diri dan cinta keluarga.
Bantuan dari Profesional
Bagaimana jika masih merasa hidup
tidak sempurna hanya gara-gara tidak bisa nonton konser atau tak punya uang
untuk traveling ke luar negeri? Semua hal jadi terasa menyebalkan. Padahal THR
sudah cair dan makanan juga tersedia.
Selain belajar mensyukuri keadaan,
coba minta bantuan dari profesional. Misalnya konselor keluarga atau psikolog.
Nanti akan dilihat akar masalahnya.
Bisa jadi ibu merasa harus sempurna
karena didikan dari kecil seperti itu. Akibatnya anak juga dituntut untuk jadi
nomor satu dan ia malah stress. Akhirnya sang anak merasa ibu tidak sayang
padanya.
Dengan konsultasi ke profesional
maka bisa ditemukan solusinya. Ibu belajar untuk rileks dan tidak menuntut.
Sementara anak juga paham bahwa ibunya punya luka di masa lalu. Mereka jadi saling
mengerti dan memaafkan.
Jangan Ragu untuk Delegasi Tugas
Kalau ibu lelah, tak ada salahnya
beli lauk matang, toh juga tidak setiap hari. Baju bisa dimasukkan ke laundry atau minta tolong jasa seterika
(jika lebih suka mencuci sendiri). Saat lelah bebersih, istirahat dulu 10 menit
baru dilanjutkan lagi. Tidak ada yang marah kalau kita rehat sejenak, bukan?
Delegasi tugas amat penting demi
kewarasan ibu. Cara lain bisa dengan bantuan mesin, misalnya vacuum cleaner
terbaru, dish washer, dll. Intinya,
jangan terlalu capek atau ingin sempurna dalam mengurus rumah, sampai kelelahan
dan merasa ‘diperbudak’ oleh ambisi sendiri.
Anak-anak Butuh Ibu yang Bahagia
Percayalah bahwa anak lebih butuh
ibu yang bahagia, bukan ibu yang sempurna. Mereka ingin sosok ibu yang hangat
dan penuh kasih. Bukannya ibu galak dan suka mencubit paha, yang mengawasi
belajar sambil bawa penggaris (untuk dipukul jika anak melakukan kesalahan).
Anak lebih suka tinggal di rumah
yang biasa saja, bukan yang kinclong luar biasa tapi ibunya menangis karena
kelelahan. Untuk apa mengejar kesempurnaan? Demi tampilan keren di media
sosial? Lebih baik prioritaskan waktu istirahat dan delegasikan tugas, daripada
melakukan semuanya sendiri tapi akhirnya gampang marah, dan anak-anak jadi
korban KDRT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar