Jumat, 21 Maret 2025

Jadi Ibu Tak Harus Sempurna, yang Penting Bahagia

  

Menjadi ibu membuat wanita bahagia tapi di balik kesenangan ada sederet tugas yang bertumpuk. Mulai dari membersihkan rumah (jika tidak ada PRT), mencuci, memasak, dll. Ibu juga mengurus keperluan suami dan anak.

 

Khusus untuk anak, ibu juga mengasuh, memandikan (saat masih kecil), membuatkan makanan khusus (MPASI), dll.  Seorang ibu juga masih sempat untuk menyiram tanaman dan melakukan kegiatan lain. Apalagi bagi ibu yang wanita karir, pasti lebih sibuk lagi.

 

Sebanyak itu tugas seorang ibu dan akhirnya membuat remuk, lelah lahir batin. Rasanya hidup hanya untuk membuat semuanya sempurna. Rumah yang bagus dan kinclong, anak yang sehat dan cerdas, baju-baju rapi di lemari, dll.

 

Terlalu Mengejar Kesempurnaan

 

Pernahkah ibu merasa capek padahal sudah tidur selama 8 jam sehari? Atau merasa marah terus-menerus padahal anak hanya melakukan kesalahan kecil (misalnya tak sengaja menumpahkan minuman). Ini bahaya lho!

 

                                                Unsplash

Bisa saja kita punya rumah bersih, makanan siap santap, anak yang cakep, hampir sempurna di semua sisi. Tapi ibunya stress karena terlalu mengejar kesempurnaan. Ibu jadi bertanya-tanya, di mana letak kebahagiaan sejati? 

 

Ibu-ibu tolong ya! Jangan mengejar kesempurnaan karena itu hanya milik Tuhan. Saat anak tak sengaja membuat rumah kotor bukan berarti dia sengaja. Jangan dimarahi apalagi dicubiti. 

 

Terlalu mengejar kesempurnaan itu melelahkan banget. Akibatnya anak jadi takut berbuat salah. Padahal kesalahan terjadi sebagai salah satu bentuk pembelajaran, bukan?

 

Mengesampingkan Kebutuhan Pribadi demi Orang Lain

 

Ada juga ibu yang mati-matian berkorban demi orang lain (misalnya anak dan suami), tapi akhirnya mengesampingkan kebutuhan pribadi. Misalnya saat punya uang dari hasil bisnis sampingan, malah belikan anak mainan mahal. Padahal dia sendiri juga butuh skincare dan  bedak karena yang lama sudah habis.

 

Jangan diulangi ya, Bu! Membelikan anak itu boleh tapi jangan sampai jadi punya perasaan lelah berkorban. Saat anaknya sudah punya mainan dan baju yang bagus, tak ada salahnya beli baju atau kebutuhan pribadi ibu. Hal ini bukan egois, tapi sebuah kewajaran.

                                            Unsplash

 

Jangan terlalu sering berkorban sampai akhirnya merasa tidak ada gunanya bekerja. Lha hasil kerja kan buat seluruh anggota keluarga, jadi diri sendiri juga berhak dong untuk belanja. Kalau ada uangnya mengapa tidak shopping? Toh tidak setiap hari dan masih on budget.

 

Melupakan Kesehatan Sendiri

 

Sering juga kulihat fenomena saat ibu terlalu sibuk membuat rumah bersih dan rapi karena tidak ada PRT. Akhirnya setelah subuh mandi lalu memasak sarapan dan bekal. Saat anak sekolah, rumah dirapikan sampai sempurna.

 

Sayangnya semua kerapian membawa korban karena ibu lupa tidak sarapan. Alasannya nanti saja setelah selesai mencuci. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. 

                                                 Pexels

 

Kalau lapar ya makan, atuh! Isi tenaga dulu sebelum beberes. Jika sering telat makan maka bisa kena maag dan akhirnya pusing sendiri, bukan?

 

Jangan biarkan diri ini sakit gara-gara alasan sepele seperti telat makan. Atau, ibu jadi kram tiap malam karena terlalu rajin bersih-bersih tanpa kenal waktu. Utamakan kesehatan, bukan kesempurnaan.

 

Seperti Apa Keluarga yang Sempurna?

 

Fenomena lain yang ada di keluarga-keluarga di Indonesia adalah menunjukkan keluarga yang sempurna. Ayah bekerja di kantor. Ibu yang jadi wanita karir. Atau ibu yang bekerja dari rumah. Anak berprestasi dan punya banyak piala.

 

Akan tetapi demi label kesempurnaan, semua jadi korban. Anak dipaksa ikut les ini dan itu sampai stress sendiri. Suami disuruh lembur karena cicilan mobil mewah yang tinggi sekali. Apakah mau hidup seperti ini? Bukannya sempurna malah mumet!

                                                Unsplash

 

Kasihan sekali jika anak disuruh berprestasi tapi tidak sesuai dengan minatnya. Dia suka seni malah disuruh belajar matematika. Dia juga dipaksa ikut banyak kegiatan dengan alasan demi masa depannya.

 

Tolong jangan ambil hak bermain anak! Masih ingatkah kalian berita anak yang killing his parents karena stress disuruh terus belajar? Menyedihkan sekali karena anak bisa melakukan tindakan kriminal gara-gara ditekan terus-menerus.

 

Jangan Keracunan Standar Sosial Media

 

Sosial media juga berpengaruh besar terhadap standar kebahagiaan dan kesempurnaan. Di mana ditampakkan keluarga bahagia adalah yang kaya-raya. Banyak selebgram yang flexing kekayaan dan membuat followers jadi iri hati.

 

Saat keracunan standar sosial media maka lagi-lagi memakan banyak korban. Suami disuruh romantis setiap saat. Padahal bahasa cintanya berbeda. Jika beliau sudah tanggung jawab dan sabar, mengapa masih dicari celanya gara-gara tidak pernah mengajak candle light dinner?

 

Fokus pada Keluarga Sendiri

 

Sudahlah, Bu! Lebih baik fokus pada keluarga sendiri alih-alih melihat keluarga orang lain yang terlihat lebih sempurna. Apalagi 'hanya' keluarga selebgram. Percayalah, mereka hanya menampakkan yang baik di sosial media, bukan berarti kehidupannya sempurna 100%.

 

Jika ibu fokus pada keluarga sendiri maka ibu lebih rileks dan tidak mudah cemberut saat tetangganya manasin mobil. Sementara kita masih manasin sayur tiap hari. Iri dan dengki tidak akan membawa hasil yang bagus. Lebih baik fokus memperbaiki diri dan cinta keluarga.

 

Bantuan dari Profesional

 

Bagaimana jika masih merasa hidup tidak sempurna hanya gara-gara tidak bisa nonton konser atau tak punya uang untuk traveling ke luar negeri? Semua hal jadi terasa menyebalkan. Padahal THR sudah cair dan makanan juga tersedia.

 

Selain belajar mensyukuri keadaan, coba minta bantuan dari profesional. Misalnya konselor keluarga atau psikolog. Nanti akan dilihat akar masalahnya.

                                                Unsplash

 

Bisa jadi ibu merasa harus sempurna karena didikan dari kecil seperti itu. Akibatnya anak juga dituntut untuk jadi nomor satu dan ia malah stress. Akhirnya sang anak merasa ibu tidak sayang padanya.

 

Dengan konsultasi ke profesional maka bisa ditemukan solusinya. Ibu belajar untuk rileks dan tidak menuntut. Sementara anak juga paham bahwa ibunya punya luka di masa lalu. Mereka jadi saling mengerti dan memaafkan.

 

Jangan Ragu untuk Delegasi Tugas

 

Kalau ibu lelah, tak ada salahnya beli lauk matang, toh juga tidak setiap hari. Baju bisa dimasukkan ke laundry atau minta tolong jasa seterika (jika lebih suka mencuci sendiri). Saat lelah bebersih, istirahat dulu 10 menit baru dilanjutkan lagi. Tidak ada yang marah kalau kita rehat sejenak, bukan?

                                                       Pexels

Delegasi tugas amat penting demi kewarasan ibu. Cara lain bisa dengan bantuan mesin, misalnya vacuum cleaner terbaru, dish washer, dll. Intinya, jangan terlalu capek atau ingin sempurna dalam mengurus rumah, sampai kelelahan dan merasa ‘diperbudak’ oleh ambisi sendiri.

 

Anak-anak Butuh Ibu yang Bahagia

 

Percayalah bahwa anak lebih butuh ibu yang bahagia, bukan ibu yang sempurna. Mereka ingin sosok ibu yang hangat dan penuh kasih. Bukannya ibu galak dan suka mencubit paha, yang mengawasi belajar sambil bawa penggaris (untuk dipukul jika anak melakukan kesalahan).

                                             Unsplash

 

Anak lebih suka tinggal di rumah yang biasa saja, bukan yang kinclong luar biasa tapi ibunya menangis karena kelelahan. Untuk apa mengejar kesempurnaan? Demi tampilan keren di media sosial? Lebih baik prioritaskan waktu istirahat dan delegasikan tugas, daripada melakukan semuanya sendiri tapi akhirnya gampang marah, dan anak-anak jadi korban KDRT.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar