Siapa suka baca karya Bu Dini (alm)? Nah, daku tuh pertama baca karya beliau yang seri cerita kenangan (Sebuah Lorong di Kotaku, Padang Ilalang di Belakang Rumah, dll). Lanjut baca Pada Sebuah Kapal, La Barka, dan buku-buku beliau selalu dicetak ulang karena emang sebagus itu.
Daku bersorak karena
ada buku Gunung Ungaran di Ipusnas. Langsung
ngebut baca dong dan Alhamdulillah kelar dalam dua hari padahal tebalnya 403 halaman.
Emang seperti apa isinya?
Mari kita lihat
dulu data bukunya:
Judul : Gunung Ungaran, Lerep di Lerengnya,
Banyumanik di Kakinya
Penerbit: Media
Pressindo
Tahun : 2018
Kehidupan
NH Dini
Sama seperti buku-buku
yang lain, Gunung Ungaran bercerita tentang kehidupan pribadi Bu NH Dini.
Beliau memang sudah menulis beberapa buku mengenai kisahnya sendiri, jadi
autobiografi yang berjilid-jilid. Kisah di sini berawal dari tahun 2006.
Pasca gempa Jogja, NH
Dini pindah lagi dari Kota Gudeg dan kembali ke Semarang, kota masa kecilnya.
Akan tetapi bukan di kota ya tapi di Semarang coret alias Ungaran.
Bu Dini pindah ke
sebuah wisma yang dinamai sama dengan namanya. Kok bisa? Karena wisma itu
dibangun atas prakarsa istri ex pejabat yang sangat perhatian dengan beliau.
Wisma yang ada di Lerep, Ungaran, diharap menjadi tempat tinggal yang nyaman.
Pindahan
Lagi
Akan tetapi Bu Dini
lama-lama tidak betah di Lerep. Pertama, lama-lama tempat itu makin bising
sehingga beliau kurang konsentrasi menulis. Kedua, ada gangguan dari ular,
cacing, dan binatang yang tidak diharapkan. Ketiga, wisma dibangun oleh
kontraktor dengan asal-asalan sehingga butuh banyak perbaikan dan biaya yang
tidak sedikit.
Akhirnya Bu Dini pindah
ke wisma lansia lain, masih di Ungaran. Di sana beliau lebih betah dan mulai
beradaptasi. Kegiatan sehari-harinya: menulis, menerima tamu (para sahabat),
menerima para mahasiswa yang konsultasi skripsi.
Tetap
Aktif Ceramah di Mana-Mana
Bu Dini sangat
mengagumkan karena di usia senja (di atas 70 tahun) beliau masih aktif memberi
ceramah dan kuliah umum. Mulai dari di sebuah kampus di Bali sampai di tempat
lain. Beliau juga aktif di Akademi
Jakarta sehingga secara teratur mengunjungi ibu kota.
Siapa pengen ke Ubud
Writers and Readers Festival? Bu Dini berangkat ke Bali karena menerima award dari Janet DeNefee, founder
Ubud Writers and Readers Festival. Beliau datang dan ditemani oleh Padang,
putra bungsunya.
Read: Launching Buku Gunung Ungaran
Menjadi
Mbahnya Minion
Di buku Gunung Ungaran,
Bu Dini meluruskan gosip mengenai beliau. Dulu jahat banget sih kalau ada yang
bilang kalau beliau terpaksa tinggal sendiri di wisma lansia dan diabaikan oleh
anak-anaknya. Padahal tinggal di wisma adalah keinginan beliau sendiri.
Lintang dan Padang
(anak-anak beliau) juga sangat perhatian. Bahkan Padang selalu mengirimkan uang
dengan jumlah yang lebih dari cukup. Tahu Padang? Beliau adalah Pierre Coffin,
sutradara sekaligus kreator Minion.
Bu Dini dengan bangga
menyebut bahwa beliau adalah mbahnya minion. Ketika premiere film, beliau
bela-belain antri tiket, berdesakan, dan nonton di bioskop walau kursinya kurang nyaman. Akan tetapi beliau sangat
terharu karena putranya menjadi orang yang berhasil.
Motivasi
dari NH Dini
Buku Gunung Ungaran
sangat menarik karena gaya bertutur Bu Dini mengalir begitu saja. Pembaca bisa
belajar story telling dari
karya-karya beliau. Meski diselipi nasehat, tapi isinya tidak membosankan.
Satu hal yang daku suka
dari buku Gunung Ungaran adalah Bu Dini (secara tidak langsung) memotivasi para
pembaca untuk terus berkarya. Konsistensi adalah kunci. Beliau sejak muda
sampai usia senja terus menulis setiap hari. Bahkan ketika sedang ke Prancis
beliau juga masih nulis.
Membaca Gunung Ungaran bikin
hati mencelos karena buku ini diselesaikan oleh Bu Dini di awal tahun 2018.
Namun di akhir tahun beliau meninggal dunia karena kecelakaan lalu-lintas.
Terima kasih, Bu Dini, karyamu akan selalu abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar