Minggu, 03 November 2024

Anak Laki-Laki kok Cengeng?

 Mama!

Air mata menetes terus ke pipinya. Saladin yang baru bangun tidur lalu memelukku erat-erat. Tumben dia menangis pagi-pagi? Padahal dia sudah 12 tahun, dan seingatku terakhir dia bangun sambil mewek adalah ketika berusia 5 tahun.



Setelah itu Saladin kupeluk erat-erat. Dia pun perlahan berhenti menangis. Kujelaskan kalau tadi itu aku keluar sebentar untuk beli sarapan, bukan pergi jauh dan meninggalkannya selama berhari-hari.

Boys Don’t Cry?

Punya anak laki-laki adalah sebuah anugerah sekaligus tantangan. Sebagai orang tua, kita tuh wajib mendidiknya agar jadi anak yang mandiri, berani, tegas, tegar, sekaligus kreatif. Karena laki-laki adalah calon pemimpin rumah tangga, jadi tidak boleh lembek.



Tak heran ada ungkapan boys don’t cry. Tapi  apakah berlaku untuk semua anak laki-laki? Lantas ketika dia menangis, entah karena mimpi buruk atau hal lain, malah dimarahi habis-habisan?

Menangis Bukan Cengeng

Mari kita sadari bahwa tangisan bukan berarti cengeng dan anak laki-laki boleh menangis. Karena itu adalah salah satu bentuk emosi. Asalkan menangisnya tidak berlarut-larut.



Apalagi kalau anakknya tipe melankolis yang memang cenderung lebih sensitif. Perasaannya lebih halus dan hatinya lembut. Jika dia menangis belum tentu cengeng. Jangan malah diejek dan dibilang, ‘Idih, kok nangisan, kayak anak cewek!’ Padahal anak laki-laki maupun perempuan boleh menangis, asal setelah itu ditenangkan.

Mencari Penyebabnya

Daripada emosi ketika anak menangis, lebih baik mencari penyebabnya. Bisa jadi anak mewek karena habis mimpi buruk. Bisa jadi dia menangis karena sakit, atau lagi caper aja. memang kudu sabar seluas samudera menghadapi anak menangis, sambil mencari sebabnya.

Memvalidasi Emosi Anak

Setelah dapat penyebab tangisan anak, baru kita validasi emosinya. Jadi anak dikenalkan bahwa ada bermacam-macam emosi, termasuk kesedihan. Tangisan harus diterima dan diresapi. Baru setelah itu anak ditenangkan dengan cara dipeluk. Bukannya disangkal atau dicegah, lagi-lagi karena alasan boys don’t cry.



Anak yang perasaannya tidak divalidasi bisa berbahaya lho. Dia bisa jadi lebih mudah emosi atau berlarut-larut dalam kesedihan, kelak ketika dewasa. Kalau masih bingung bagaimana cara memvalidasi emosi anak, bisa konsultasi ke konselor keluarga atau psikolog.

Menenangkan Orang Tua

Lantas bagaimana jika anak nangis tapi kita tuh jadi emosi dan malah rasanya pengen mukul? Wahh, bahaya banget. Bisa jadi ada inner child yang belum sembuh. Karena dulu pas kecil, kita terlalu sering dimarahi saat menangis, jadi pas dengar anak nangis bukannya kasihan tapi malah marah-marah.



Tenang dulu, tarik nafas panjang. Kalau memang inner child masih ada, ya butuh disembuhkan dengan cara terapi. Bisa dengan cara belajar mindfulness atau konsultasi ke psikiater. Ingat ya,  ke psikolog atau psikiater bukan berarti gila. Namun adalah salah satu usaha untuk menyembuhkan luka batin sehingga akkan terjadi keseimbangan mind, body, and soul.

Menghadapi anak yang menangis pagi-pagi memang butuh kesabaran yang luar biasa. Anak-anak jangan dipaksa diam atau malah dibentak, nanti malah tambah sakit hati. Jangan juga mengecap anak dengan sebutan ‘cengeng’ karena bisa jadi dia belum paham bagaimana cara memvalidasi emosinya.

Jumat, 01 November 2024

Ketika Ibu Beranak Satu Dibully di Media Sosial

Entah mengapa beberapa Minggu ini marak bullying. Bukan di dunia nyata tapi di sebuah media sosial. Yang mana? Yang itu lhooo, yang isinya orang bikin konten (banyak yang pemula), dan selalu bilang "salam interaksi".


Yang bikin sedih tuh daku kena bully juga. Kan anakku cuma sebiji yaitu si Saladin Al Ayyubi. Karena pengguna medsos tersebut mencemooh ibu-ibu yang anaknya cuma satu. Bahkan bullying beramai-ramai, mirip black campaign.






Alasan mereka yang membully adalah: kasihan anaknya jika tidak punya saudara. Nanti kalau sudah dewasa bagaimana? Tidak ada saudara untuk berkeluh-kesah, tidak bisa bergantian jaga orang tua.


Habis itu daku enggak komentar sih cuma shock aja. Haaah? Lha wong yang punya anak lho orang lain. Mengapa dia yang repot?





Anak orang lain ya biarkan saja. Kurang kerjaan banget kok mikir nasib orang lain? Mbok ya daripada melakukan bullying, mending ngepel rumah, masak yang enak dan sekalian bikin konten. Daripada mencemooh dan menambah energi negatifnya sendiri.



Bullying yang Menyesakkan Dada


Enggak sekali ini daku kena bully. Kira-kira setahun lalu, ada yang tanya (di grup WA) mengapa anakku cuma satu? Ya kujawab karena alasan kesehatan. 




Yaa ada something inside my womb dan berbahaya kalau hamil lagi. Beneran deh dulu hamil Saladin penuh drama. Mulai dari hampir keguguran, pendarahan, berkali-kali ke dokter, disuruh bed rest dan minum obat penguat, dll.





Namun si pembully (yang punya 6 anak) malah dengan entengnya bilang ya gakpapa. Hamil dan melahirkan aja. Toh kalau melahirkan dan meninggal, nanti masuk surga 



Haaah? Your mouth! Masalahnya daku belum mau mati. Kasihan juga anaknya atuh. Gile aja kok bisa dia bilang gitu (tapuk online dipersilahkan).


Tidak Siap Menerima Perbedaan di Dunia


Daku pun menceritakan ini ke salah satu sahabat. Kami akhirnya berkesimpulan bahwa bullying terjadi, salah satunya karena masyarakat kita dipaksa untuk seragam. Jadi tidak siap menerima perbedaan.




Jangankan yang child free. Yang punya anak satu aja juga salah. Anak dua masih aja kurang. Anak tiga disuruh nambah. Namun anaknya empat dibilang kebanyakan. Maunya apaa? 


Parenting Anak Tunggal


Daripada membully bukankah lebih baik fokus ke keluarga sendiri? Memang menyesakkan kalau kita udah happy. Eh ada orang lain yang membandingkan kondisinya dengan kita, lalu menyalah-nyalahkan.




Daku sekarang fokus mengasuh Saladin agar bisa bahagia. Meski dia anak tunggal tapi tidak dimanja. Bahagia bukan berarti memanjakan. Namun mengajarkan dia untuk cinta lingkungan, mandiri, dan bertanggungjawab.




Bagaiman teman-teman. Ada yang pernah kena bully juga? Atau ada yang punya anak tunggal juga?