Jika anakku begini, bagaimana masa depannya?
Pernah enggak sih mikir
kayak gitu? Lihat anak kok memusingkan. Ada saja cerita tiap hari, yang dia
enggak mau nurut, susah dibangunin, dll. Ada juga anak yang cengeng karena
terlalu sensitif, yang picky eater.
Ada juga anak yang masuk kategori ‘istimewa’ alias ABK (anak berkebutuhan
khusus) misalnya yang autis, ADHD, dll.
BTW tulisan ini merupakan lanjutan dari blogpost parenting day di sekolah Saladin yang bertema ‘menerima kondisi anak’. Bunda Wanda, kepala sekolah di SD Alam (tempat Saladin menuntut ilmu) menjelaskan materi dengan gamblang.
Saladin dan Bunda WandaMemang seperti apa kondisi anak yang harus diterima?
Selengkapnya bisa klean baca di:
Read: Terimalah Keadaan Anakmu
Dulu
Saladin Tidak Begini
Kalau teman-teman lihat
video dan foto Saladin di sosial media, dia sudah masuk tahap ‘anteng’ alias
enggak pernah lagi manjat lemari. Paling banter Cuma muter-muter keliling
rumah. Emosinya pun sudah bisa dikendalikan, di usianya yang hampir 12 tahun.
Memangnya Saladin
kenapa? Daku jelaskan sekali lagi ya. Saladin awalnya dikira ADHD (karena speech delay dan susah diam), lalu kami
bawa ke psikolog anak. Beliau menjelaskan dengan sabar, kalau dia itu bukan
hiperaktif, tapi over aktif.
Ciri khasnya adalah
masih nengok kalau dipanggil, masih ada pandangan matanya. Kalau anak memanjat
pun ada tujuannya, misalnya untuk mengambil kue yang disembunyikan di atas lemari.
Cara
Menerima Kondisi Anak
Akan tetapi sebelum
masuk tahap ‘anteng’ tetap saja menguras tenaga, kesabaran, dan emosi.
Bagaimana tidak mumet kalau Saladin (saat
masih balita) tantrum lalu gulung-gulung di lantai, dan membenturkan kepalanya
ke ubin? Saat itu daku hanya bisa mewek sambil memeluknya erat—erat. Baru
setelah itu masuk dalam tahap penerimaan.
Lantas bagaimana cara
menerima kondisi anak? Karena ini berkaitan dengan hati ya, jadi memang harus
berproses. Tidak ada yang bisa membuat bunda
menerima kondisi anak kecuali dirinya sendiri, tentu dengan bantuan dari-Nya.
Bukankah Tuhan ‘memegang’ hati setiap umat manusia?
Kalau anak memiliki
kelemahan seperti kurang suka belajar, maka masih bisa diperbaiki. Begitu juga
ketika dia punya kondisi khusus, misalnya speech
delay, disleksia, dll. Masih bisa diajari. Yang penting orang tuanya
menerima terlebih dahulu.
Mengapa harus menerima
kondisi anak dengan sabar dan ikhlas? Karena anak adalah anugerah, jadi jangan
dilihat kelemahannya. Yakinlah pasti dia juga punya kelebihan yang lain.
Daku nulis ini karena
terinspirasi dengan Bunda Wanda. Beliau mencontohkan ketika ada murid ABK dan
sebenarnya punya progress yang baik.
Sudah mulai mau bicara dengan belajar menyanyi terlebih dahulu, mau ikut
belajar, sudah hafal gerakan salat.
Akan tetapi sang ibu
belum mau menerima kondisi anaknya. Beliau menuntut pihak sekolah agar anaknya
bisa seperti yang lain, padahal si anak tidak didampingi oleh guru shadow. Si anak juga dileskan tiap hari
dengan harapan bisa punya prestasi di bidang akademik. Akhirnya, si anak
dipindah ke sekolah lain.
Mengenai pengertian
guru shadow bisa dicari di Google ya.
Yang jelas kalau murid punya guru pendamping seperti ini, berarti kudu bayar
lagi (menggaji) dengan rate 1,5 -2
juta rupiah (kalau di Malang).
Jangan
Membandingkan Anak
Salah satu cara legowo dalam menerima kondisi anak
adalah tidak membandingkannya dengan
anak lain. Misalnya saat ada anak lain yang berprestasi di bidang akademik,
ikut lomba ini-itu. Yakinlah kalau anak kita punya kelebihan misalnya dia sudah
tahu cara berdagang dan suka mempromosikan jualan bundanya.
Jika anak
dibanding-bandingkan maka dia bisa merasa minder, tidak dicintai, bahkan
membenci (ke anak lain yang jadi perbandingan). Cinta orang tua seharusnya
tanpa syarat. Jangan pernah membandingkan anak dengan tujuan memotivasi, karena
cara ini sudah kuno sekali (zaman feodal).
Baca: Jangan Bandingkan Anakmu dengan yang Lain
Mencari
Solusi
Jika anak ketahuan
disleksia, ADHD, atau kondisi khusus yang lain, maka harus dicarikan solusinya.
Konsultasi ke psikolog anak / konselor keluarga, dan biasanya akan disarankan
untuk terapi. Mengenai terapinya macam-macam ya, ada terapi perilaku, terapi
wicara, dll.
Jangan bayangin yang
seram dulu karena terapinya menyenangkan kok. Cari rumah tumbuh kembang yang
menyediakan terapi yang pas, dan terapis yang berpengalaman. Kalau terapi
biasanya sambil bermain dan ada alat / mainan khusus jadi anak juga happy.
Tidak
Usah Overthinking
Terakhir, daku mau
bilang kalau tidak usah overthinking.
Saat punya anak istimewa, yakinlah nanti ada jalannya, untuk biaya terapi,
untuk bayar guru shadow, dll. Saat
ini makin banyak perusahaan yang mempekerjakan karyawan ABK, jadi tidak usah
pusing duluan nanti masa depan anak bagaimana?
Punya anak, apalagi
anak istimewa, memang challenging dan
kudu sabarrrr seluas samudera. Yang penting yakin bahwa anak juga bisa sukses
meski dia istimewa. Anak juga wajib diterima keadaannya, karena cinta memang
tanpa syarat, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar