Selasa, 08 Oktober 2024

Menerima Kondisi Anak Apapun Keadaannya

 Jika anakku begini, bagaimana masa depannya?

Pernah enggak sih mikir kayak gitu? Lihat anak kok memusingkan. Ada saja cerita tiap hari, yang dia enggak mau nurut, susah dibangunin, dll. Ada juga anak yang cengeng karena terlalu sensitif, yang picky eater. Ada juga anak yang masuk kategori ‘istimewa’ alias ABK (anak berkebutuhan khusus) misalnya yang autis, ADHD,  dll.



BTW tulisan ini merupakan lanjutan dari blogpost parenting day di sekolah Saladin yang bertema ‘menerima kondisi anak’. Bunda Wanda, kepala sekolah di SD Alam (tempat Saladin menuntut ilmu) menjelaskan materi dengan gamblang. 

                                    Saladin dan Bunda Wanda

Memang seperti apa kondisi anak yang harus diterima? Selengkapnya bisa klean baca di:

Read: Terimalah Keadaan Anakmu

Dulu Saladin Tidak Begini

Kalau teman-teman lihat video dan foto Saladin di sosial media, dia sudah masuk tahap ‘anteng’ alias enggak pernah lagi manjat lemari. Paling banter Cuma muter-muter keliling rumah. Emosinya pun sudah bisa dikendalikan, di usianya yang hampir 12 tahun.



Memangnya Saladin kenapa? Daku jelaskan sekali lagi ya. Saladin awalnya dikira ADHD (karena speech delay dan susah diam), lalu kami bawa ke psikolog anak. Beliau menjelaskan dengan sabar, kalau dia itu bukan hiperaktif, tapi over aktif.

Ciri khasnya adalah masih nengok kalau dipanggil, masih ada pandangan matanya. Kalau anak memanjat pun ada tujuannya, misalnya untuk mengambil kue yang  disembunyikan di atas lemari.

Cara Menerima Kondisi Anak

Akan tetapi sebelum masuk tahap ‘anteng’ tetap saja menguras tenaga, kesabaran, dan emosi. Bagaimana tidak mumet kalau Saladin (saat masih balita) tantrum lalu gulung-gulung di lantai, dan membenturkan kepalanya ke ubin? Saat itu daku hanya bisa mewek sambil memeluknya erat—erat. Baru setelah itu masuk dalam tahap penerimaan.



Lantas bagaimana cara menerima kondisi anak? Karena ini berkaitan dengan hati ya, jadi memang harus berproses. Tidak ada yang bisa membuat bunda  menerima kondisi anak kecuali dirinya sendiri, tentu dengan bantuan dari-Nya. Bukankah Tuhan ‘memegang’ hati setiap umat manusia?

Kalau anak memiliki kelemahan seperti kurang suka belajar, maka masih bisa diperbaiki. Begitu juga ketika dia punya kondisi khusus, misalnya speech delay, disleksia, dll. Masih bisa diajari. Yang penting orang tuanya menerima terlebih dahulu.



Mengapa harus menerima kondisi anak dengan sabar dan ikhlas? Karena anak adalah anugerah, jadi jangan dilihat kelemahannya. Yakinlah pasti dia juga punya kelebihan yang lain.

Daku nulis ini karena terinspirasi dengan Bunda Wanda. Beliau mencontohkan ketika ada murid ABK dan sebenarnya punya progress yang baik. Sudah mulai mau bicara dengan belajar menyanyi terlebih dahulu, mau ikut belajar, sudah hafal gerakan salat.

                                 Suasana di sekolah

Akan tetapi sang ibu belum mau menerima kondisi anaknya. Beliau menuntut pihak sekolah agar anaknya bisa seperti yang lain, padahal si anak tidak didampingi oleh guru shadow. Si anak juga dileskan tiap hari dengan harapan bisa punya prestasi di bidang akademik. Akhirnya, si anak dipindah ke sekolah lain.

Mengenai pengertian guru shadow bisa dicari di Google ya. Yang jelas kalau murid punya guru pendamping seperti ini, berarti kudu bayar lagi (menggaji) dengan rate 1,5 -2 juta rupiah (kalau di Malang).

Jangan Membandingkan Anak

Salah satu cara legowo dalam menerima kondisi anak adalah tidak membandingkannya dengan anak lain. Misalnya saat ada anak lain yang berprestasi di bidang akademik, ikut lomba ini-itu. Yakinlah kalau anak kita punya kelebihan misalnya dia sudah tahu cara berdagang dan suka mempromosikan jualan bundanya.



Jika anak dibanding-bandingkan maka dia bisa merasa minder, tidak dicintai, bahkan membenci (ke anak lain yang jadi perbandingan). Cinta orang tua seharusnya tanpa syarat. Jangan pernah membandingkan anak dengan tujuan memotivasi, karena cara ini sudah kuno sekali (zaman feodal).

Baca: Jangan Bandingkan Anakmu dengan yang Lain

Mencari Solusi

Jika anak ketahuan disleksia, ADHD, atau kondisi khusus yang lain, maka harus dicarikan solusinya. Konsultasi ke psikolog anak / konselor keluarga, dan biasanya akan disarankan untuk terapi. Mengenai terapinya macam-macam ya, ada terapi perilaku, terapi wicara, dll.





Jangan bayangin yang seram dulu karena terapinya menyenangkan kok. Cari rumah tumbuh kembang yang menyediakan terapi yang pas, dan terapis yang berpengalaman. Kalau terapi biasanya sambil bermain dan ada alat / mainan khusus jadi anak juga happy.

Tidak Usah Overthinking

Terakhir, daku mau bilang kalau tidak usah overthinking. Saat punya anak istimewa, yakinlah nanti ada jalannya, untuk biaya terapi, untuk bayar guru shadow, dll. Saat ini makin banyak perusahaan yang mempekerjakan karyawan ABK, jadi tidak usah pusing duluan nanti masa depan anak bagaimana?

Punya anak, apalagi anak istimewa, memang challenging dan kudu sabarrrr seluas samudera. Yang penting yakin bahwa anak juga bisa sukses meski dia istimewa. Anak juga wajib diterima keadaannya, karena cinta memang tanpa syarat, kan?

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar