Lebih dari 1 dekade kami mengarungi pernikahan. September ini, tepatnya tanggal 16, menjadi momen pengingat. Bahwa 13 tahun lalu kami mengucap janji suci di depan penghulu. Ijab Kabul yang menggetarkan kalbu sekaligus membuatku hampir tak percaya, mengapa daku secepat ini menikah dengannya?
Apa yang ingin
kuungkapkan bukan mengenai pernikahan jalur taaruf. Namun ke pengalaman selama
13 tahun. Iya, tidak terasa, 13 tahun? Dan masih bertahan sampai sejauh ini?
Naik
dan Turun Selama 13 Tahun
Jika pernikahan menjadi gerbang bernama “kehidupan yang sebenarnya” maka daku bisa berkata iya. Belajar me-maintain uang dengan baik. Belajar merawat anak sendiri.
Anak yang spesial dan bikin daku ingin nyanyi lagu
poco-poco alias Cuma ngana suka bikin pusing.
Read: Tuhan, Mengapa Anakku Berbeda?
Namun tak apa-apa. Jika
daku tidak punya anak ‘ajaib’ seperti Saladin, mungkin tidak akan belajar
sabar. Tidak akan belajar mengenai pengendalian emosi, mindfulness, belajar aksara (karena dia hobi belajar bahasa dan
huruf asing), belajar masak, dll.
Pernikahan
dan Patriarki
Kembali ke topik
pernikahan. I’m not a feminist tapi
kurang setuju dengan patriarki. Namun apa yang terjadi? Malah dapat ‘kuliah’
dari para tetua mengenai cara melayani suami.
Mulai dari mengambilkan
makan (lengkap dengan lauknya) sampai memperlakukannya dengan baik. OK, daku
berkaca dari mama dan papa (yang sudah menikah lebih dari 30 tahun). Walau mama
tidak makan tetapi tetap menemani papa makan sambil mengobrol.
Read: Menikah Adalah Cara Kehilangan Diri Sendiri?
Akhirnya daku bikin
peraturan untuk diri sendiri. Selain membuatkan kopi tiap pagi, juga
mengambilkan nasi untuknya (karena beliau suka nasi dingin). Untungnya ya
selera kami sama (dan mungkin kurang lazim bagi sebagian orang) karena
sama-sama tidak suka pedas, pete, duren, dan jengkol. Jadi untuk masalah lauk,
aman.
Read: 12th
Wedding Anniversary
Apakah ini yang
dinamakan patriarki? Well, sebenarnya
ini caraku untuk me-maintain kasih
sayang. Bahwa segala yang kulakukan untuknya adalah demi merawat pernikahan.
Bukan karena takut atau disuruh orang lain.
Jika daku mencintainya
karena Tuhan, maka daku berusaha dengan baik. Lagu Cintai Aku Karena Allah bukan sekadar lagu. Namun ada makna yang
dalam sekali.
Sudah, sekian cerita wedding anniversary-nya. Jika ada yang
bilang bahwa menikah adalah seni mengalah maka daku bilang, ‘sama-sama
mengalah’ alias jangan hanya istri yang disuruh ngalah. Kalau ini sih seringnya
suami yang mengalah, alias kalau dapat 1 nasi kotak, maka dikasihkan ke daku
dan Saladin.
Satu lagi pesan dari
seorang kawan, “Kalau kesal dengan suami, ingat-ingat kebaikannya”. Pernikahan
memang kompleks tapi jika dijalani dengan ikhlas maka akan terasa ringan.
Semoga kita selalu bahagia, apapun kondisinya.