Brak!
Kubuka
kenop pintu kos dan mendorong daun pintu dengan kasar. Tak peduli nanti
tetangga sebelah tergnggu atau tidak. Siapa peduli mereka sedang tidur siang
atau mengerjakan tugas, bodo amat! Lagipula setelah beberapa bulan tinggal di
kos-kosan milik Mak Uti,
aku tak begitu akrab pada mereka.
Paling-paling
hanya Kirana yang kukenal. Itupun
karena dulu ibuku pernah membawakan oleh-oleh sekotak bolu cokelat dan kubagi
dua, lalu kuantar ke kamarnya. Habis yang lain juga jarang ada di kos. Apalagi
kabarnya, si Tetha yang hobi utak-atik, malah tenggelam dalam kesibukannya di
dalam laboratorium.
Ah,
kuliah selama 3 jam hampir mendidihkan otakku. Salahku sendiri kurang teliti, mengira
jurusan Ilmu Ekonomi dan Pendidikan Ekonomi itu sama. Padahal beda jauh! Sudahlah,
nasi sudah menjadi bubur. Yang penting aku bisa pulang kampung dengan membawa
ijazah sarjana.
Aku
duduk santai di kasur sambil membuka sepatu dan kaus kaki, lalu melemparkannya
asal-asalan. Aroma keringat menguar dari kaki, ah, dilap dengan tisu basah
saja. Sebenarnya aku lelah hidup begini. Pergi ke kampus naik angkot, sesekali
naik ojek di awal bulan. Selalu pakai celana yang warnanya itu-itu saja, begitu
juga kemejanya. Tasku juga dibeli di pasar, bukan di dalam Mall.
Padahal
Ibu dan Bapak walau ada di kampung, tapi membekaliku dengan uang yang cukup. Malah
lebih dari cukup. Sebenarnya bisa sih aku beli sepatu bermerek atau sesekali
naik taksi, namun lebih baik begini. Biasa saja berpenampilan lusuh agar dikira
miskin.
Mengapa
aku harus berpura-pura miskin? Ah kayak gak tau aja kelakuan rata-rata anak
kos. Tanggal muda foya-foya. Tanggal tua merana. Kalau aku ke kampus pakai
sepatu Ribux atau Alatas, bisa-bisa mereka pinjam uang seenaknya. Padahal lebih
baik uangnya kubuat investasi saham dan beli logam mulia. Kan sesuai prinsip
ekonomi yang diajarkan di kampus, gitu looh!
Sayang sistem beasiswa kampus tidak bisa dikibuli,
karena menggunakan pengecekan rekening listrik dan foto rumah. Jika saja
sistemnya masih manual seperti beberapa tahun lalu mungkin aku bisa mendaftar
beasiswa dengan modal SKTM.
Ting!
Ada WA masuk. Rupanya dari Bu Sasmita. Beliau ingin aku
pergi ke ruang dosen. Padahal jam kuliah sudah selesai. Katanya ada kelebihan
nasi kotak konsumsi rapat dan aku boleh mengambilnya.
Baru saja mau membalas WA, ada pesan lagi yang masuk
ke ponselku. Kali ini dari Pak Darmo, sang penjaga parkir fakultas. Katanya ada
hadiah untukku. Hadiah apa?
Eits, jangan berpikiran macam-macam. Pak Darmo sudah punya anak-istri di kampung. Namun beliau sering kasihan padaku yang berpenampilan dekil. Katanya, wajahku mirip dengan almarhumah putri bungsunya.
Tanpa pikir panjang segera kusambar tas, kuisi dengan
dompet dan HP. Kukenakan sepatu keds, karena akan berlari ke kampus. Nasi kotak,
aku datang! Hadiah, tunggulah! Kalian jangan bully aku ya, salah mereka terlalu bersimpati dan menilai seseorang
dari penampilan luarnya.
Cerita yang menarik. Jadi mahasiswa memang berat ya. Jadi alhamdulillah banget kalau Masih ada yang mau bersedia menolong atau berbagi. Nasi kotak pun jadi barang yang terasa mewah Dan mahal euy.
BalasHapusWkwkk, menarik sekali alurnya, Mbak. Soooo relate, wkwkkw. Tapi emang jadi mahasiswa itu kudu berani bersikap dan bertanggung jawab atas sikap yang diambilnya si. it's okay kalau alasan dia emang takut kalau dimanfaatkan temennya, wkwkk
BalasHapus