Sabtu, 22 Juni 2024

Balada Mahasiswa Pura-Pura Miskin

  

Brak!

 

Kubuka kenop pintu kos dan mendorong daun pintu dengan kasar. Tak peduli nanti tetangga sebelah tergnggu atau tidak. Siapa peduli mereka sedang tidur siang atau mengerjakan tugas, bodo amat! Lagipula setelah beberapa bulan tinggal di kos-kosan milik Mak Uti, aku tak begitu akrab pada mereka.

 

Paling-paling hanya Kirana yang kukenal. Itupun karena dulu ibuku pernah membawakan oleh-oleh sekotak bolu cokelat dan kubagi dua, lalu kuantar ke kamarnya. Habis yang lain juga jarang ada di kos. Apalagi kabarnya, si Tetha yang hobi utak-atik, malah tenggelam dalam kesibukannya di dalam laboratorium.

 

Ah, kuliah selama 3 jam hampir mendidihkan otakku. Salahku sendiri kurang teliti, mengira jurusan Ilmu Ekonomi dan Pendidikan Ekonomi itu sama. Padahal beda jauh! Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Yang penting aku bisa pulang kampung dengan membawa ijazah sarjana.

                                  Pexels

 

Aku duduk santai di kasur sambil membuka sepatu dan kaus kaki, lalu melemparkannya asal-asalan. Aroma keringat menguar dari kaki, ah, dilap dengan tisu basah saja. Sebenarnya aku lelah hidup begini. Pergi ke kampus naik angkot, sesekali naik ojek di awal bulan. Selalu pakai celana yang warnanya itu-itu saja, begitu juga kemejanya. Tasku juga dibeli di pasar, bukan di dalam Mall.

 

Padahal Ibu dan Bapak walau ada di kampung, tapi membekaliku dengan uang yang cukup. Malah lebih dari cukup. Sebenarnya bisa sih aku beli sepatu bermerek atau sesekali naik taksi, namun lebih baik begini. Biasa saja berpenampilan lusuh agar dikira miskin.

 

Mengapa aku harus berpura-pura miskin? Ah kayak gak tau aja kelakuan rata-rata anak kos. Tanggal muda foya-foya. Tanggal tua merana. Kalau aku ke kampus pakai sepatu Ribux atau Alatas, bisa-bisa mereka pinjam uang seenaknya. Padahal lebih baik uangnya kubuat investasi saham dan beli logam mulia. Kan sesuai prinsip ekonomi yang diajarkan di kampus, gitu looh!

 

Sayang sistem beasiswa kampus tidak bisa dikibuli, karena menggunakan pengecekan rekening listrik dan foto rumah. Jika saja sistemnya masih manual seperti beberapa tahun lalu mungkin aku bisa mendaftar beasiswa dengan modal SKTM.  

 

Ting!

 

Ada WA masuk. Rupanya dari Bu Sasmita. Beliau ingin aku pergi ke ruang dosen. Padahal jam kuliah sudah selesai. Katanya ada kelebihan nasi kotak konsumsi rapat dan aku boleh mengambilnya.

 

Baru saja mau membalas WA, ada pesan lagi yang masuk ke ponselku. Kali ini dari Pak Darmo, sang penjaga parkir fakultas. Katanya ada hadiah untukku. Hadiah apa?

 

Eits, jangan berpikiran macam-macam. Pak Darmo sudah punya anak-istri di kampung. Namun beliau sering kasihan padaku yang berpenampilan dekil. Katanya, wajahku mirip dengan almarhumah putri bungsunya. 

 

Tanpa pikir panjang segera kusambar tas, kuisi dengan dompet dan HP. Kukenakan sepatu keds, karena akan berlari ke kampus. Nasi kotak, aku datang! Hadiah, tunggulah! Kalian jangan bully aku ya, salah mereka terlalu bersimpati dan menilai seseorang dari penampilan luarnya.

 

2 komentar:

  1. Cerita yang menarik. Jadi mahasiswa memang berat ya. Jadi alhamdulillah banget kalau Masih ada yang mau bersedia menolong atau berbagi. Nasi kotak pun jadi barang yang terasa mewah Dan mahal euy.

    BalasHapus
  2. Wkwkk, menarik sekali alurnya, Mbak. Soooo relate, wkwkkw. Tapi emang jadi mahasiswa itu kudu berani bersikap dan bertanggung jawab atas sikap yang diambilnya si. it's okay kalau alasan dia emang takut kalau dimanfaatkan temennya, wkwkk

    BalasHapus