Aroma pisang goreng menguar di dapur. Emak menaburinya dengan serpihan gula aren. Pisangnya terlihat cantik, kontras dengan keadaan rumah ini. Hanya berdinding anyaman bambu dan lantainya juga masih tanah. Mungkin satu-satunya benda berharga di rumah ini adalah jam dinding.
Pagi
ini, seperti biasa, aku berjualan pisang goreng. Dengan hati-hati kucium tangan
Emak yang sudah keriput. Beliau membantuku untuk mengangkat tampah berisi
pisang ke atas kepala.
Kukenakan
sandalku lalu berjalan ke rumah Pak Jendral. Istri beliau sudah memesan pisang
goreng. Aku senang saat ke sana karena bisa bermain sejenak dengan anaknya.
Rumah
Pak Jendral berada di di seberang kampung. Hampir semua rumahnya berwarna hijau.
Untung aku sudah mengenal Pak Slamet sang penjaga kompleks sehingga tak perlu
lagi meminta izin untuk memasuki kawasan tersebut.
“Selamat
pagi, Bu! Saya mengantar pisang goreng!”
Seorang
pembantu membukakan pintu. Bu Jendral menyambutku dengan wajah cerah. Setelah
membayar pisang goreng, beliau langsung menyuruhku untuk pulang.
“Mengapa
pulang, Bu? Saya masih ingin bermain dengan nona kecil.”
Bu
Jendral setengah berbisik, “Sudah, langsung pulang saja. Keadaan sedang kurang
aman. Kamu lihat kan di kompleks ini makin banyak penjaganya?”
Dalam
hati aku mengiyakan. Cepat-cepat aku pulang dan membawa tampah. Sementara
kantong celanaku gembung, penuh dengan uang koin pemberian Bu Jendral.
*****
Keesokan
harinya aku menjajakan pisang goreng lagi. Namun sayang, penjagaan di kompleks
makin diperketat, tidak boleh ada orang luar yang masuk. Akhirnya aku berjalan
ke kampung lain yang jaraknya jauh sekali. Mungkin Emak akan marah saat tahu
aku nekat berkeliling sampai belasan kilometer.
“Dik,
boleh beli semua dagangannya?”
Seorang
pemuda berkemeja putih memanggilku. Aku setengah berlari menghampirinya. Untung
saja semua pisangnya tidak jatuh.
“Iya,
Kak. Pisang gorengnya masih banyak.” Kubungkus semua pisang dengan kertas koran
bekas. Sementara sang pemuda memberikanku dua genggam uang koin.
“Ini
kebanyakan!” Namun pemuda itu memaksaku untuk menerimanya.
“Orang
Indonesia harus makan buatan Indonesia! Lebih baik makan pisang goreng daripada
roti. Supaya rakyat makmur dan ada keadilan!”
Sungguh
aku tidak mengerti maksudnya. Sekolah pun aku tak pernah. Mungkin karena
kasihan melihatku yang kebingungan dan kelelahan, sang pemuda mengajakku untuk
masuk ke rumahnya.
Baru
kali ini aku masuk ke rumah yang memajang bendera palu arit. Gambar apakah itu?
Ahh, nanti saja kutanyakan ke Emak.
“Nama
saya Tono. Adik namanya siapa?”
“Saya
Nurma, Kak. Terima kasih telah memberi semua pisang goreng jualan saya.”
Kak
Tono menepuk-nepuk bahuku. Sungguh aku malu dibuatnya. Apalagi saat ia ingin
mengantarkanku pulang. Untung saat itu ada tamu sehingga ia membatalkan
niatnya.
Kak
Tono akhirnya memesan pisang goreng untuk besok. Aku senang-senang saja.
Apalagi ia berjanji akan mengajariku membaca.
****
Malamnya
aku mendengarkan radio di rumah Nano.
Maklum, di rumahku tidak ada radio. Aku dan keluarga Nano kaget karena ada
pemberitahuan bahwa keadaan makin tidak aman. Penduduk diminta untuk tidak
keluar rumah.
Bagaimana
dengan pisang goreng jualanku? Aku juga tak bisa datang ke rumah Kak Tono.
Akhirnya keesokan harinya aku nekat keluar rumah dan tidak mengindahkan
larangan Emak.
Aku
langsung menyesal saat keluar rumah. Tidak ada orang di luar. Ke mana mereka?
Apa sedang antri beras di koperasi?
Setelah
berjalan cepat ke rumah Kak Tono, aku terkesiap. Ada tanda X warna merah di
pintu rumahnya. Padahal biasanya tidak pernah dikunci.
“Angkat
tangan!”
Suara
bariton mengagetkanku, nyaris membuat tampahku jatuh. Aku letakkan tampah di
tanah lalu mengangkat tangan.
“Ampun,
Pak! Saya hanya jualan pisang!” Lututku bergetar ketika melihat senjata yang
disorongkan.
Bapak
berseragam hijau menatapku lekat tapi tidak menurunkan senjatanya. “Kamu
keluarganya Tono? Dia sudah ditangkap karena jadi penghianat negara.”
“Ampun,
Pak! Bukan! Saya hanya penjual pisang goreng.” Rasanya aku hampir ngompol.
Namun
sang bapak tampak tidak percaya. Dia hampir meringkusku, lalu….
“Jangan,
Pak! Lepaskan anak kecil itu! Dia biasanya jualan di kompleks kita. Bu Jendral
juga mengenalnya!”
Kutengok
arah belakang. Pak Slamet! Puji syukur kepada Tuhan karena beliau membelaku. Akhirnya
si bapak melepaskanku lalu menyuruhku pulang.
“Pak
Slamet, pisang gorengnya buat Bapak ya? Tolong berikan juga kepada nona kecil.”
Tiba-tiba
raut wajah Pak Slamet berubah. “Nona kecil ditembak oleh gerombolan tak bertanggung jawab. Mereka benar-benar kejam!”
Rasanya
aku ingin pingsan. Nona kecil sudah meninggal. Ia tidak bisa makan pisang
goreng buatan emakku. Kota jadi berasa makin suram. Kapankah keadaan ini
berubah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar