Kamis, 20 Juni 2024

Pisang Goreng Terakhir untuk Nona Kecil

 Aroma pisang goreng menguar di dapur. Emak menaburinya dengan serpihan gula aren. Pisangnya terlihat cantik, kontras dengan keadaan rumah ini. Hanya berdinding anyaman bambu dan lantainya juga masih tanah. Mungkin satu-satunya benda berharga di rumah ini adalah jam dinding.

 

Pagi ini, seperti biasa, aku berjualan pisang goreng. Dengan hati-hati kucium tangan Emak yang sudah keriput. Beliau membantuku untuk mengangkat tampah berisi pisang ke atas kepala.




 

Kukenakan sandalku lalu berjalan ke rumah Pak Jendral. Istri beliau sudah memesan pisang goreng. Aku senang saat ke sana karena bisa bermain sejenak dengan anaknya.

 

Rumah Pak Jendral berada di di seberang kampung. Hampir semua rumahnya berwarna hijau. Untung aku sudah mengenal Pak Slamet sang penjaga kompleks sehingga tak perlu lagi meminta izin untuk memasuki kawasan tersebut.

 

“Selamat pagi, Bu! Saya mengantar pisang goreng!”

 

Seorang pembantu membukakan pintu. Bu Jendral menyambutku dengan wajah cerah. Setelah membayar pisang goreng, beliau langsung menyuruhku untuk pulang.

 

“Mengapa pulang, Bu? Saya masih ingin bermain dengan nona kecil.”

 

Bu Jendral setengah berbisik, “Sudah, langsung pulang saja. Keadaan sedang kurang aman. Kamu lihat kan di kompleks ini makin banyak penjaganya?”

 

Dalam hati aku mengiyakan. Cepat-cepat aku pulang dan membawa tampah. Sementara kantong celanaku gembung, penuh dengan uang koin pemberian Bu Jendral.

 

*****

 

Keesokan harinya aku menjajakan pisang goreng lagi. Namun sayang, penjagaan di kompleks makin diperketat, tidak boleh ada orang luar yang masuk. Akhirnya aku berjalan ke kampung lain yang jaraknya jauh sekali. Mungkin Emak akan marah saat tahu aku nekat berkeliling sampai belasan kilometer.

 

“Dik, boleh beli semua dagangannya?”

 

Seorang pemuda berkemeja putih memanggilku. Aku setengah berlari menghampirinya. Untung saja semua pisangnya tidak jatuh.

 

“Iya, Kak. Pisang gorengnya masih banyak.” Kubungkus semua pisang dengan kertas koran bekas. Sementara sang pemuda memberikanku dua genggam uang koin.

 

“Ini kebanyakan!” Namun pemuda itu memaksaku untuk menerimanya.

 

“Orang Indonesia harus makan buatan Indonesia! Lebih baik makan pisang goreng daripada roti. Supaya rakyat makmur dan ada keadilan!”

Sungguh aku tidak mengerti maksudnya. Sekolah pun aku tak pernah. Mungkin karena kasihan melihatku yang kebingungan dan kelelahan, sang pemuda mengajakku untuk masuk ke rumahnya.

 

Baru kali ini aku masuk ke rumah yang memajang bendera palu arit. Gambar apakah itu? Ahh, nanti saja kutanyakan ke Emak.

 

“Nama saya Tono. Adik namanya siapa?”

 

“Saya Nurma, Kak. Terima kasih telah memberi semua pisang goreng jualan saya.”

 

Kak Tono menepuk-nepuk bahuku. Sungguh aku malu dibuatnya. Apalagi saat ia ingin mengantarkanku pulang. Untung saat itu ada tamu sehingga ia membatalkan niatnya.

 

Kak Tono akhirnya memesan pisang goreng untuk besok. Aku senang-senang saja. Apalagi ia berjanji akan mengajariku membaca.

 

****

 

Malamnya aku  mendengarkan radio di rumah Nano. Maklum, di rumahku tidak ada radio. Aku dan keluarga Nano kaget karena ada pemberitahuan bahwa keadaan makin tidak aman. Penduduk diminta untuk tidak keluar rumah.

 

Bagaimana dengan pisang goreng jualanku? Aku juga tak bisa datang ke rumah Kak Tono. Akhirnya keesokan harinya aku nekat keluar rumah dan tidak mengindahkan larangan Emak.

 

Aku langsung menyesal saat keluar rumah. Tidak ada orang di luar. Ke mana mereka? Apa sedang antri beras di koperasi?

 

Setelah berjalan cepat ke rumah Kak Tono, aku terkesiap. Ada tanda X warna merah di pintu rumahnya. Padahal biasanya tidak pernah dikunci.

 

“Angkat tangan!”

 

Suara bariton mengagetkanku, nyaris membuat tampahku jatuh. Aku letakkan tampah di tanah lalu mengangkat tangan.

 

“Ampun, Pak! Saya hanya jualan pisang!” Lututku bergetar ketika melihat senjata yang disorongkan.

 

Bapak berseragam hijau menatapku lekat tapi tidak menurunkan senjatanya. “Kamu keluarganya Tono? Dia sudah ditangkap karena jadi penghianat negara.”

 

“Ampun, Pak! Bukan! Saya hanya penjual pisang goreng.” Rasanya aku hampir ngompol.

 

 

Namun sang bapak tampak tidak percaya. Dia hampir meringkusku, lalu….

 

“Jangan, Pak! Lepaskan anak kecil itu! Dia biasanya jualan di kompleks kita. Bu Jendral juga mengenalnya!”

 

Kutengok arah belakang. Pak Slamet! Puji syukur kepada Tuhan karena beliau membelaku. Akhirnya si bapak melepaskanku lalu menyuruhku pulang.

 

“Pak Slamet, pisang gorengnya buat Bapak ya? Tolong berikan juga kepada nona kecil.”

 

Tiba-tiba raut wajah Pak Slamet berubah. “Nona kecil ditembak oleh gerombolan tak bertanggung jawab. Mereka benar-benar kejam!”

 

Rasanya aku ingin pingsan. Nona kecil sudah meninggal. Ia tidak bisa makan pisang goreng buatan emakku. Kota jadi berasa makin suram. Kapankah keadaan ini berubah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar