“Lapar nih. Tapi uang kita tinggal 5.000. Mana cukup buat beli bakso Mang Kardi? Padahal kalau lagi hujan gini paling enak makan bakso.”
Deni melirik Didan,
saudara kembarnya. Ia menaruh ponsel di sofa lalu bangkit dari duduknya.
Sementara di luar air masih turun dari langit dengan derasnya. Dahi Deni
berkerut. Apa yang harus ia lakukan demi dua mangkok bakso?
Jika saja ayah dan ibu
sudah datang, Deni dan Didan bisa meminta uang untuk membeli bakso. Namun kedua
remaja itu memilih untuk jaga rumah. Mereka tak mau ikut orang tuanya untuk
mengunjungi rumah Paman Dharma di desa, karena Senin sudah ujian akhir
semester.
Hujan turun makin
deras. Untung tidak ada petir yang menyambar. Hawa dingin menyergap. Memang
saat hujan paling enak jajan bakso. Apalagi Mang Kardi paling jago memasak dan
meracik semangkok bakso dengan kuah yang terbuat dari kaldu tulang sapi.
Butiran baksonya besar-besar dan terbuat dari daging sapi asli. Para pengunjung
warungnya juga boleh minta tambah kuah jika mau.
Deni ingat, ibu masih
memiliki persediaan mie siap seduh di lemari dapur. Namun pasti Didan tidak mau
memakannya. Jika ia sudah menginginkan bakso pasti tidak mau dibujuk untuk
makan yang lain.
“Ayo ikuti rencanaku
tapi kamu jangan banyak tanya!” ujar Deni. Didan hanya mengerutkan dahinya. Apa
yang akan Deni lakukan? Mengingat dia memang punya banyak akal tetapi
tindakannya sering di luar prediksi.
Deni melangkah ke dapur
lalu mengambil sebotol termos. Dimasukkannya termos berisi air panas itu ke
dalam tas ransel. Ia juga memasukkan satu kantong kresek yang penuh dengan isi.
Kemudian ia mengambil 4 payung lipat. Untuk apa payung sebanyak itu?
Kedua payung dibuka
sementara sisanya dimasukkan ke dalam ransel. “Ayo ikut aku! Nanti kalau
berhasil kutraktir bakso!” Deni bersemangat dalam membujuk Didan.
“Malas ah! Lebih baik
tidur saja sambil menunggu ibu pulang!” Tak disangka Didan membantah.
Deni mengangkat tubuh
Didan, nyaris menggendongnya. Sementara Didan memberontak. “Di luar masih
hujan! Kamu mau ngapain? Jangan ngawur!”
Derasnya hujan tak
menghalangi niat Deni. Ia berbisik-bisik untuk memberi tahu niatnya. Akhirnya
Didan paham dan mau membantunya.
Deni dan Didan keluar
rumah, menuju stasiun kereta api yang jaraknya hanya 1 kilometer dari rumah.
Walau air hujan tak mampu 100% dibendung oleh payung tetapi mereka tetap
berjalan dengan mantap. Deni membawa ransel yang sudah penuh oleh termos dan
barang-barang lain.
Sampai stasiun, hujan
belum juga reda. Deni mengeluarkan payung lipat dari ransel. Kemudian, Didan
mulai beraksi.
“Ojek payungnya, Bu!
Murah, goceng aja!”
Seorang wanita bertubuh
subur menghampiri Didan. Ia meminta Didan untuk mengantarnya menuju taksi
online yang parkir di seberang stasiun. Setelah sampai tujuan, selembar uang
berwarna ungu ia berikan.
“Bu, maaf. Saya tidak
ada kembalian,” ujar Didan.
“Tidak apa-apa, Dik!
Bawa saja. Makasih sudah bantu ibu ya.” Wanita itu pun naik taksi online dan
meninggalkan stasiun.
Alhamdulillah! Sepuluh
ribu pertama! Didan makin semangat mencari mangsa eh mencari calon penumpang
ojek payung.
Didan akhirnya
mendapatkan customer kedua. Seorang
bapak yang baru turun dari angkot dan ingin menyebrang jalan, menuju stasiun.
Setelah menerima uang, Didan pun berpamitan dan mencari-cari kembarannya.
“Deni!”
Deni sedang sibuk
menuangkan air panas dari termos. Kemudian dia mengaduk gelas plastik dan
menyerahkannya ke seorang bapak. Ia berjualan kopi dan harganya hanya 5.000
rupiah.
“Kamu tidak apa-apa
berjualan kopi di sini? Nanti ada satpam yang marah lho!”
Deni hanya tertawa.
Wajahnya memancarkan kehangatan, kontras dengan dinginnya hujan di luar. Ia
hanya menunjuk Pos satpam. Didan mengintip ke dalam pos. Rupanya Deni sudah
menyogok satpam dengan segelas kopi dan segelas mie seduh.
Kedua remaja masih
tidak mempedulikan derasnya hujan. Mereka sibuk berjualan kopi dan menjadi ojek
payung. Satu jam kemudian, saat persediaan air panas habis, baru Deni berhenti
bekerja.
Deni menghitung uangnya
dan uang Didan. Alhamdulillah, mereka berhasil mengumpulkan 60.000 rupiah.
Cukup untuk beli 4 mangkok bakso di warung Mang Kurdi. Nanti yang 2 mangkok
dibungkus untuk diberikan ke ayah dan ibu.
Hujan tidak pernah
menghentikan niat Deni. Ia percaya bahwa hujan adalah rahmat dari sang Kuasa.
Besok, saat hujan lagi, ia akan terus berjualan kopi sepulang sekolah. Tentu
ditemani kembarannya.