Pernah dengar istilah ‘bocah kosong’? Daku juga baru paham setelah lihat beberapa konten di sosial media. Intinya adalah mereka (yang sebenarnya bukan bocah karena sudah remaja / dewasa awal) berwajah cantik tetapi pengetahuannya agak memilukan.
Siapa saja anggota bocah kosong? Tanya sendiri lah ke mbah Google. Sedihnya para bocah kosong malah laris diwawancara di banyak podcast.
Fenomena Bocah Kosong yang
Memilukan
Daku
enggak tahu mereka hanya acting demi gimmick semata atau benar-benar terlalu
polos dan lugu. Namun yang bikin sedih adalah jika anak-anak meniru kelakuan
para bocah kosong dan menganggap kebodohan adalah hal yang biasa. Apalagi anak-anak
lebih terpapar sosial media sehingga mereka bisa copycat mentah-mentah idolanya, termasuk mereka.
Sebagai
orang tua maka kita menginginkan anak-anak jadi pintar, bukan? Mengapa anak-anak
malah pengen punya otak kosong dan jadi b3g0 hanya karena ingin menarik
perhatian orang lain? Sedih oooy….
Cara agar Anak Tidak Meniru Influencer Nirfaedah
Nah
bagaimana cara agar anak tidak terlalu terpengaruh oleh segala sesuatu yang
viral tetapi tidak bermanfaat sama sekali? Ya sebagai orang tua tidak bisa
membiarkan anak-anak untuk terlalu bebas mengakses medsos dan aplikasi untuk
nonton video. Jadi emang kudu dibatasi waktu untuk megang gadget, maksimal 1-2 jam dalam sehari.
Daripada
ngomel karena mereka malah ngefans ke orang yang salah, bukankah lebih baik
untuk mengarahkan mereka untuk kagum ke tokoh yang benar? Yang cerdas, yang
bisa membawa perubahan, dan yang memotivasi. Jadi yaa sekali lagi daku tekankan
kalau orang tua tak boleh abai tetapi harus mampu mengajari anaknya agar tidak
terseret ke tren negatif.
Gerakan Anti Kuliah, yang Benar
Saja!
Satu
lagi konten video di medsos yang bikin geram adalah ketika si kreator berkata
bahwa anak kuliah adalah pengangguran dengan penuh gaya dan kerjanya hanya
nongkrong. Bujibuneng! Jadi pengen jedotin palanya ke kamus.
Padahal
kita tahu sendiri perjuangan para mahasiswa, belajar, diskusi, baca buku,
ngejar-ngejar dosen, dll. Iya sih mereka juga nongkrong tapi di perpustakaan. Kalau
lagi ngumpul di kafe pun untuk mengerjakan tugas dan berdiskusi, bukan
nongkrong cekikikan dan mejeng doang.
Iyaa
daku tahu kalau bisa jadi si kreator video beralasan seperti itu hanya untuk
menghibur dirinya sendiri, karena tidak mampu untuk kuliah. Namun kalau dituduh
kuliah hanya nongkrong dan ngabisin duit kok jadi nyesek ya. Padahal kuliah
penting banget….
Akan
tetapi ada kemungkinan satu konten yang sesat bisa memicu gerakan anti kuliah. Apalagi
kalau yang nonton adalah remaja lugu dan terlalu percaya pada video-video yang
ditonton. Jangan sampai gerakan ini menyebar dan sebenarnya daku mikir how to defeat it?
Iyaa
biaya kuliah memang cukup tinggi. Akan tetapi bukan jadi alasan untuk menolak
kuliah, bukan? Lagipula ada beasiswa dan cara-cara lain agar para pemuda bisa
menuntut ilmu di perguruan tinggi.
Intinyaaa
adalah kita wajib memilah konten
yang ditonton dan arahkan anak untuk tidak percaya begitu saja pada ocehan influencer karena belum tentu benar. Sebagai
orang tua tentu ingin agar anaknya cerdas, kritis, dan mencintai ilmu
pengetahuan, bukan? Lebih baik anak diajak untuk menggunakan gadget untuk belajar bahasa asing dan
menambah pengetahuan baru, bukan untuk gegayaan.