Penulis: Pipiet Senja dan Adzimatinnur Siregar
Tebal: 256 halaman
Tahun: 2010
Bisa dibaca di: aplikasi Ijak
Siapa tak kenal Pipiet Senja? Penulis super seniorrr yang bahkan cerpennya udah daku baca sejak tahun 80-an (iyaa dulu papaku kerja di salah satu majalah wanita dan ada beberapa cerpen beliau di majalah-majalah tersebut). Eh dulu daku bacanya tahun 90-an waktu masih SD wkwk harusnya belum boleh baca majalah dewasa ya.
Kali ini Bu Pipiet Senja bercerita (nulis duet bersama putrinya si Butet alias Adzimatinnur Siregar). Bukan novel sih tapi lebih ke memoar/catatan hidup, ketika beliau dirawat di RS, karena operasi besar. Sebenarnya bagian si Butet di memoar ini hanya 30% bagian akhir, tapi tetap nyaman untuk dibaca.
BTW Butet dan kakaknya Haekal juga penulis lho! Keren banget ya keluarga ini. Eh intronya malah kepanjangan, berikut ini ulasannya.
Review Catatan Cinta Ibu dan Anak
Anak mana yang tidak sedih ketika melihat ibunya sakit? Itu yang dirasakan oleh Butet. Dia yang sibuk kuliah, organisasi, wajib mendampingi ibunya ke RS. Namun tak ada yang disesali atau dikeluhkan karena ia sangat sangat ikhlas.
Bu Pipiet Senja
Ya, Bu Pipiet adalah survivor thallasemia (kelainan darah, cek di mbah Google untuk lengkapnya ya). Jadi sebenarnya RS, dokter, apotek, sudah tidak asing bagi beliau. Beliau juga rutin transfusi darah agar hemoglobinnya stabil.
Tapi siapa sih yang mau sakit? Apalagi kalau berobatnya pake kartu Axxxs. Dengan kartu tersebut bisa berobat dan rawat inap tapi hanya diberi kamar kelas 3. Sudah gitu susternya judes-judes.
Di buku Catatan Cinta Ibu dan Anak digambarkan ketika Bu Pipiet harus operasi pengangkatan limpa. Operasinya lancar, hanya saja birokrasinya panjang dan melelahkan.
Butet dan Bu Pipiet
Apalagi beliau operasi dan rawat-inap di bulan puasa, membuat Butet harus menahan lapar, dahaga, emosi, demi kesehatan ibunda tercinta.
Meracau Pasca Operasi
Digambarkan
pasca operasi Bu Pipiet bermimpi lalu sadar dan berhalusinasi, bahwa semua
perawat berkomplot untuk menyingkirkan beliau (forever). Beliau meracau dan
ternyata…ini efek dari morfin yang diberi oleh perawat.
Betapa sedihnya ketika habis operasi, tubuh lemas dan sakit semua, lalu dianggap ‘mak lampir’ karena terus meracau. Padahal kondisi ini bukan keinginan beliau sendiri.
Ketegaran Butet
Di buku Catatan Cinta Ibu dan Anak digambarkan kekuatan dan ketegaran si Butet. Ketika ibunya operasi, Butet dengan setia mendampingi, karena sang kakak sibuk bekerja. Padahal Butet juga sebenarnya sibuk kuliah, berorganisasi, dan jarak dari kampus ke RS cukup jauh.
Butet
Saking tegarnya Butet ia lebih memprioritaskan ibunya dan baru bisa berbuka (dengan makanan berat) di tengah malam. Bahkan nyaris buka dan sahur dirapel. Tak heran berat badannya merosot sampai 7 kilogram. Namun Butet tak pernah mengeluh karena ia sangat menyayangi ibunya.
Dari buku Catatan Cinta Ibu dan Anak, selain melihat betapa sayangnya si Butet, pembaca juga bisa miris karena ketidaksempurnaan (kalau boleh kubilang kebobrokan) sistem kesehatan di negeri ini. Pasien sudah sakit dan nafasnya berat masih disuruh antri kamar selama berjam-jam. Alasannya karena dia pakai kartu Axxxxs.
Kalau mau jalur VIP bayar sekian juta. Apakah benar orang kismin dilarang sakit? Ahh sudahlah semoga ada perbaikan sistem kesehatan sehingga ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.