Beberapa
hari lalu daku lihat di IG story seorang kawan, ternyata di daerah tertentu ada
larangan untuk memberikan PR kepada anak sekolah. Daku kaget dong karena
biasanya nih sekolah identik dengan PR alias pekerjaan rumah, apalagi sekolah
negeri. Namun ada pemimpin yang berani untuk menghapus PR dengan alasan akan
membebani siswa.
HAAH?
Iya
sih, anak sekarang tuh sekolahnya full
day ya. Biasanya kalau masih kelas 1 SD pulangnya agak siang, tetapi makin
naik kelas makin lama di sekolahnya. Rata-rata, anak bisa pulang habis ashar,
ya sekitar jam 3 sore.
Kalau
pulangnya sore dan masih ditambah setumpuk PR kok kasihan banget lihatnya.
Pulang sekolah masih harus mandi, ibadah, ke TPQ, lalu ngerjain PR dan belajar
di tempat les. Iya kalau ortunya mampu untuk bayar guru privat atau masukkan ke
kursusan. Kalau enggak gimana?
Aku sih YES
Jadi
daku tim yang berkata YAY kalau PR dihapuskan. Karena faktanya, banyak murid
yang mengerjakan PR setengah hati lalu stress berat. Sudah soal-soalnya susah,
enggak ada yang bisa ditanyain. Ortunya enggak ngerti, gak les pula,
akhirnya.....tanya di internet. Itupun bisa benar tapi bisa salah kan?
BTW
duluu waktu adikku masih SD, dia kegirangan karena di sekolahnya (SD swasta)
enggak ada PR. Emang di sana pelopor full
day school di Kota Malang dan ‘menjual’ tanpa PR (jadi murid-muridnya
enggak stress). Eh tapi adikku sekolah di sana bukan karena itu sih tapi pas
baca brosurnya tertarik karena disediakan makan siang, wkwkwk.
Daku
masih ingat ketika berkunjung ke rumah seseorang dan anaknya lagi garap PR
tetapi dia males-malesan (mungkin capek atau mengantuk?) Lantas sang ibu
menuliskan PR (dengan pensil) dan anaknya malah nonton TV. Ehm, dihapuskannya
PR mungkin untuk mengurangi kecurangan seperti ini ya?
Salah
satu guru (di sebuah artikel yang kubaca) juga setuju jika PR dihapuskan, tapii
syaratnya diganti dengan projects.
Jadi para murid bakal lebih memahami suatu materi, bukannya menghafalkan doang.
Nah ini daku juga setuju, karena ortu juga bisa melihat projects anaknya dan perkembangan belajarnya.
Ada yang Enggak Setuju
Namun
ada juga ortu yang enggak setuju kalau PR dihapuskan. Alasannya, jika tidak ada
PR maka anaknya enggak belajar di rumah. Wah, bener juga ya.
Tapi
menurutku belajar enggak sekadar garap PR sih ya. Saat di dapur misalnya, bisa
belajar berhitung dengan timbangan kue. Ketika di garasi bisa juga belajar
menghitung kecepatan mobil dan jarak tempuh (pakai rumus fisika), dll. Sebagai ortu
kudu pintar memancing anak agar antusias belajar.
Ada
juga seorang kawan yang guru (beliau mengajar di Jateng) yang enggak setuju
bahwa PR dihapuskan. Menurutnya, kalau enggak ngasih PR, orang tua enggak bisa
memonitor apakah anaknya belajar di rumah dan sekolah? Gurunya ngajar apa saja?
Nah,
masih pro dan kontra sih tentang penghapusan PR di sekolah. Ada plus dan
minusnya dan semoga semuanya bisa mendukung program-program pemerintah,
termasuk aturan ada PR atau enggak (biasanya di sekolah negeri). Kalau kamu tim
yay atau nay jika PR dihapuskan?
Aku setuju ga setuju sih, wkwkwk. Maksudnya, ga semua PR itu jelek sebenarnya.
BalasHapusTapi kalo aktivitas sehari2 sudah padet di sekolah, trus dihajar sama PR lagi, lantas kapan anak-anak punya waktu untuk main?
Aku sih setuju mbaaa. Dan kebetulan anak2 ku sekolah di SD negeri tapi beda2 , si Adek ga bisa masuk sdn yg sama Ama kakanya Krn umur yg masih kemudaan. Untungnya ketrima di SDN yg udh pake kurikulum merdeka. Naah itu pr udh ga ada di sekolah mereka, tapi banyaak projek. Malah bagus sih. Buatku anak2 jadi lebih paham drpd pr segambreng 🤣.
BalasHapusPro dan kontra juga ya. Tapi, kalo aku sejujurnya nggak setuju sih dengan penghapusan PR ini hehe 😁
BalasHapusin this case, karna aku punya adek yg masih SD, kadang dgn dia ngerjain PR aku jadi lbh tahu materi apa yg dia nggak paham
Tricky juga ya kalo yg ngerjain malah ortunya 🤣
PR itu ibarat mata koin, membanti siswa buat lebih paham sama pelajaran sekolah, dipihak lain cukup bikin ortu plus anak kelabakan. Akhirnya ortu melakukan kecurangan dengan mengerjakan PR anak
BalasHapusAku sih nggak setuju dihapuskan biar siswa lebih paham pelajaran tapi nggak setuju juga kalau banyak-banyak. Kasian kayaknya sekolah aja udah capek, biar nggak terlalu capek di rumah hehe
BalasHapusKalo aku si tetep setuju ada PR tp dengan catatan ga membebani. Ga perlu banyak sekedar review apa yg audah diajarkan l4bih bagus klo tugas semacam project aja jd lebih seru dan ga beban
BalasHapusAntara setuju dan ga setuju mbak.
BalasHapusKalau dihapuskan terlebih untuk yang fullday scholl gitu, malamnya tinggal untuk istirahat aja atau bermain. Tapi kalau nggak dikasih PR yang mungkin nggak banyak gitu, setidaknya anak tetap ada kesempatan untuk belajar, pun orangtua bisa memantau anaknya, sudah belajar, ada pr atau tidak, gitu sih mbak
Aku sih setuju kalau PR dihapus
BalasHapusSekarang,anak anak sudah sekolah dari pagi sampai sore, kasihan kalau malamnya masih harus mengerjakan pr
Sekolah anakku nggak ada PR
Dengan beban pelajaran anak sekarang yang luar biasa, aku sih sangat setuju sekali.
BalasHapusToh, mengerjakan PR bukan satu-satunya jalan anak bisa mengulang materi yang dipelajari. Masih banyak cara memahamkan anak pada konsep pelajaran, seperti discuss atau kreativitas project.
Semacam berada di tengah-tengah saja dah. Saya setuju kalo anak-anak diwajibkan peer membuat satu ecobrick per satu minggu. Lumayan kan, jadi banyak sampah plastik yang bisa dialih-fungsikan menjadi produk yang bisa digunakan kembali, seperti ecobrick ini.
BalasHapussama seperti hal lainnya ya, mbak. masing-masing punya nilai positif dan negatif. tinggal kita yang kasih kadarnya kan mbak. Sebenarnya PR itu kan buat latihan, tapi bberapa guru memang tak paham kadar kemampuan yang diajar, jatuhnya jadi beban.
BalasHapusIya, lagi muncul wacana kalau PR akan dihapuskan ya mbak
BalasHapusKalau aku sih setuju setuju saja
Asalkan anak memang sudah belajar maksimal di sekolah
Jadi g usah kerjain pr lagi di rumah
Biar beban anak nggak terlalu banyak