"Kriing!"
Suara telepon memekik di pagi buta. Aku menggosok-gosok mata lalu menguap, masih setengah mengantuk. Tapi dering telepon memaksaku untuk bangun dari tempat tidur. Kuangkat telepon itu, apa dari Mama?
"Assalamualaikum"
"Waalaikum Salam. Mbak"
Lho, bukan suara Mama?
"Ini Bu Anto. Mbak, opornya sudah matang. Silahkan diambil ke rumah, mumpung saya belum berangkat shalat Ied"
Hah?? O....por?
"Bu, maaf, saya kan tidak pesan"
"Iya Mbak, Mama yang pesan, dan sudah dibayar"
"Baik bu, saya ambil sekarang. Assalamualaikum"
Lalu telepon terputus.
Kusambar kerudung, lalu bergegas ke luar rumah, menuju warung Bu Anto. Udara dingin yang menusuk tulang tak memperlambat langkahku. Bu Anto memberikan kresek merah, berisi opor, sambal goreng kentang ati, dan beberapa buah lontong. Aku mengucapkan terimakasih, lalu bergegas pulang. Hendak mandi dan siap-siap shalat Ied.
Air mata merembes di sudut pipi. Ya Allah, alhamdulillah. Mungkin Mama khawatir aku tak sempat memasak opor lebaran, karena sibuk menjaga anakku Saladin yang hobi memanjat lemari. Sehingga beliau memesankan opor dan sambal goreng untukku.
Aku menangis karena di saat berjauhan, beliau masih memikirkanku. Sudah lima lebaran ini aku tak sungkem pada Mama, karena beliau berlebaran di Jepara. Sedangkan aku merayakan hari raya di rumah mertua, di Polowijen - Kota Malang.
Bukannya aku tak mau mudik ke tempat Kakekku di Jepara, tapi kekhawatiranku akan Saladin membuatku tertahan di Malang. Kalau mudik, kami harus melewati jalur pantura yang panas dan macet, takutnya Saladin kegerahan dan bosan di jalan. Lebih aman lebaran di Malang, karena rumah mertua hanya berbeda kecamatan dengan rumahku. Jika naik sepeda motor, hanya butuh 30 menit perjalanan. Lagipula, berlebaran di Malang membuatku bebas dari omelan Mama.
Dulu aku menganggap Mama lebih sayang pada adik laki-lakiku. Kini ia sudah bekerja di sebuah perusahaan BUMN di Jakarta. Sedangkan aku memilih untuk jadi ibu rumah tangga. Berkali-kali beliau menawariku, apa mau kuliah S2 lalu berkarir jadi dosen. Tapi semua rayuannya tak membuatku tertarik, aku hanya ingin mengurus keluarga kecilku. Jadi hubungan kami memanas, seperti tikus dan kucing.
Aku tebak, beliau lebih bangga dan sayang pada anak keduanya daripada aku yang cuma mengurus suami dan bocah kecil di rumah. Tapi tengah gema takbir lebaran, semua prasangka jadi hilang. Terbakar oleh cinta di dalam sepanci opor. Mama juga menyayangiku, meskipun beliau jarang mengatakannya di depanku. Ya, mungkin beliau bisa menelepon atau aku wa, dengan android #4GinAja.
Usai shalat Ied, kupotong lontong, kuguyur kuah opor di atasnya. Sambil makan, aku mendengar lagu "Kasih Ibu" yang terekam dalam ingatanku
Kasih Ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya, menyinari dunia
Ibu hanya berniat memberi cinta, walau dalam bentuk yang tidak dimengerti oleh anaknya. Lebaran ini berasa segurih opor, karena semua pikiran jelekku tentang Mama luluh, oleh perhatian dan kejutan dari Mama.
Tiba-tiba aku teringat almarhumah Nenek, beliau meninggal april lalu. Jadi tahun ini adalah lebaran pertama Mama tanpa ibunya. Akankah aku bisa berlebaran dengan Mama tahun depan? Ah, aku takut tak ada lagi kesempatan untuk berbakti padanya.
Mama (kerudung biru) dan Nenek (alm)
Mulai hari itu, 1 Syawal 1437 Hijriah, aku bertekad untuk lebih menyayangi Mama. Mungkin aku belum bisa membelikan gelang emas. Tapi aku akan berusaha untuk berkata "ya" pada setiap perintahnya, dan tidak membantah. Alhamdulillah, lebaran tahun ini benar-benar penuh hikmah.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Lebaran Seru