Pyar! Cahaya yang tersorot dari atas, menyilaukan mata. Udara dingin menyergap tubuh kurusku.
Aku berjalan menuju lorong putih tak berujung. Tak ada manusia, tumbuhan, maupun hewan. Membangkitkan perasaan aneh. Dimana aku?
Apa aku sudah dikubur? Atau sudah berada di surga, atau jangan jangan neraka? Mana malaikat Munkar dan Nakir?
Tiba tiba kakiku bersentuhan dengan ranjang besi yang dingin, kulihat tembok putih yang bercampur dengan aroma kloroform. Aih, rupanya ini rumah sakit, bukan surga. Berarti aku belum mati. Tapi jika aku masih hidup, mengapa aku tak kuat berdiri, di mana ibuku?
Tiba tiba ada dua sosok bercahaya, apa itu mereka? Sosok pertama mengenakan baju biru, sedangkan sosok kedua berpakaian merah. Tampang mereka tak seperti yang kubayangkan, tak ada sayap di bahu, atau mantel gelap yang menutupi wajahnya. Rupanya wujud malaikat tak seseram yang diduga orang. Tapi apa benar mereka adalah malaikat Munkar dan Nakir?
Apa yang akan mereka lakukan? Apakah aku akan dicambuk karena bergelimang dosa? Mana tali yang akan membungkam mulutku, sehingga yang berbicara adalah tangan dan kakiku? Mengakui segala perbuatanku, tubuh ini sudah dibawa ke mana saja, ke masjid atau tempat hiburan malam?
Tapi mereka tak membawa cambuk maupun tali. Setelah mendekat, mereka bercakap dengan bahasa yang tak kuketahui. Sosok merah duduk dengan santai di ujung kaki kiri, sedangkan sosok biru berada di ujung kanan. Setelah mengobrol, si merah mengisyaratkan sang biru agar berjalan ke bangsal sebelah, sementara ia menungguiku. Dari kejauhan, sosok biru itu seolah berkata dengan ekspresi wajahnya, "waktunya belum tiba". Seolah olah saat itu ada kesepakatan bahwa aku diberi sambungan nyawa.
"Allahu akbar..allahu akbar"
Alhamdulillah, sudah adzan. Seolah ada kekuatan yang membuka pelupuk mataku. Kulirik jam dinding, sudah jam 4:30 pagi. Udara Tenggarong di pagi hari cukup sejuk. Aku meraba pinggir ranjang, hendak turun untuk berwudu.Tapi apa yang ada di tanganku? Selang? Ah, rupanya selang infus. Aku tidak bermimpi ada di rumah sakit, ternyata aku memang diopname.
Tapi kaki ini seakan digelayuti beban dua ton, akhirnya aku tayamum saja, meraba-raba tiang infus untuk mencari debu. Kulirik ibuku yang tertidur di kursi. Wajahnya yang berhias keriput, tampak kuyu dan sendu. Aku sungguh tak tega untuk membangunkannya.
Setelah shalat subuh, mata ini terasa berat kembali, hmm mungkin aku sebaiknya beristirahat lagi agar cepat sembuh. Tapi aku tak lagi menemui sosok merah dan biru itu, tak ada mimpi apa apa, hanya merasa damai.
Lalu...
"Allahu akbar..allahu akbar"
Rupanya sudah azan lagi. Bersyukur telinga dan mata ini masih berfungsi. Lalu kulirik jam dinding. Astaghfirullah, sudah jam 3 WITA! Sudah ashar, kukira azan dhuhur. Kuucapkan istighfar sekali lagi.
Mengapa aku senang ketika dihidupkan kembali? Harusnya aku bersyukur jika sewaktu waktu malaikat maut mencabut nyawaku, karena insyaAllah akan mati syahid. Aku meninggal ketika memperjuangkan pembangunan pondok pesantren. Tapi takdir berkata lain.
"Aji..Aji". Tiba tiba ibu memelukku, air mata meluncur dari kedua sudut matanya.
"Ibu, aku hanya tertidur seharian, mengapa menangis?"
Ibu terisak isak lalu berbisik,
"Kamu tidak tidur nak, ini di ICU. Kamu dinyatakan koma dan tidak sadarkan diri selama tujuh hari!
Aku koma? Rasanya hanya seperti mimpi. Benarkah dua sosok yang kutemui itu malaikat? Hanya Allah yang tahu, lagipula saat itu aku tak sanggup menanyai mereka. Jika aku menanyainya, apakah ia akan mengerti bahasa manusia?
"Oleh dokter kamu dinyatakan kena komplikasi, sakit malaria dan tipes."
Ingin ku tertawa terbahak-bahak, tapi kutahan karena tak ingin membuat ibuku bingung. Umurku belum 30, tapi sudah kena komplikasi? Dengan susah payah kutahan tawa di mulut
"Sudah minum dulu nak, selama seminggu kamu gak makan, nutrisi yg masuk hanya lewat infus."
Gluk..glukk..Sambil minum aku menggali memori sebelum koma.
Aku hanya ingat masku yang segera membawa mobil sedannya, menembus jalan berlumpur, menuju pondok. Beliau menjemputku karena disuruh ibu untuk menengok keadaanku, sudah tiga hari aku tak pulang ke rumah. Saat itu, demam merajai tubuhku, aku hanya sanggup berbaring di lantai beralas tikar. Saat aku dibopong, dan pintu mobil terbuka, lalu mataku byarr..Semuanya gelap..
Padahal dua hari sebelum koma, aku masih memancing ikan di sungai Mahakam. Ikan itu akan menjadi hidangan bagi para tamu di resepsi pernikahan Andi, sahabatku. Kami sama sama merantau dari Jawa. Bedanya, aku tinggal bersama ibu di pondok kayu yang berada di tengah tanah garapan milik Kakakku. Sedangkan ia tak punya sanak keluarga di Borneo.
Setelah memancing, aku sibuk mengambil pisau, untuk membersihkan ikan, lalu memasaknya. Rasa lelah setelah semalaman mengajar Bahasa Inggris di salah satu Pondok Pesantren di pinggiran kota Tenggarong tak kuhiraukan. Padahal hari sebelumnya, aku tak sempat tidur barang sekejap. Sepuluh santri di Pondok menjadi tanggunganku. Dengan sigap aku membawa parang, hendak mencari daun pisang dan kayu bakar, untuk ditukar dengan beras dan ikan asin.
Mungkinkah aku koma karena terkena gigitan nyamuk malaria yang bersarang di lebatnya hutan Kalimantan? Atau tubuhku ini hanya menuntut istirahat panjang, karena terlalu lelah setelah bekerja dan mengajar? Entahlah..
Esoknya aku dipindah ke ruangan perawatan biasa. Lalu ibu berjanji, setelah sembuh beliau akan mengajakku kembali ke tanah jawa. Rupanya Allah memberiku sakit ini sebagai jalan agar aku meninggalkan hijaunya Borneo. Semoga nanti kakakku mau membantu para santri di pondok, karena aku tak kuat lagi menanggung logistik mereka.
Selamat tinggal Tenggarong! Kuucapkan kalimat itu dalam hati, ketika menginjakkan bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan. Sebelum naik pesawat, aku iseng naik ke timbangan barang. Berat badanku merosot sampai 7 kg setelah tujuh hari koma!
Sekarang aku mengabdikan diri sebagai pengajar di sebuah madrasah diniyah. Semangat anak-anak yang belajar mengaji, diselingi canda mereka, menghangatkan hatiku. Walau hanya dibayar seratus ribu rupiah per bulan, bagiku itu sudah cukup. Allah telah memberiku kesempatan kedua, setelah kesadaran ini dikembalikan lewat panggilan-Nya.
Nyawa sambungan ini tak akan kusia-siakan. Ilmu akan kutularkan pada mereka, walau aku tak pernah belajar agama secara formal. Bukankah Rasul bersabda, sampaikanlah walau satu ayat? Aku bersyukur telah mengalami kejadian yang tak bisa dirasakan oleh semua orang.
*Seperti yang diceritakan oleh Aji Narasimhamurti, suami saya
Sungguh sebuah keajaiban ya Mbak. Bisa kembali sadar setelah koma 7 hari. Semua karena kuasa Nya...
BalasHapusiya..,subhanallah
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKisahnya seperti di film-film... ya. Beruntung sekali suami Mbak masih punya kesempatan kedua
BalasHapusitu ceritanya jaman belum nikah...
Hapusjadi kalo udh ga selamet ya ga nikah ama saya//heeheh