Breng!
Aku memeluk pinggangnya erat-erat. Motor dilarikan menembus gang-gang kecil di jalan Tlogomas. "Sabar ya nak, ayahmu sedang menundukkan izazil di dalam hatinya", bisikku pada janin yang ada di rahim. Kami baru saja berkunjung ke rumah Budhe, di hari pertama Lebaran. Di sana tak ada candaan semanis nastar. Namun kami terpaksa menelan sarkasme sepahit kopi tubruk tanpa gula.
"Memangnya kamu bisa masak?", selidik Budhe. Sebagai pengantin baru, wajar jika aku sering ditanyai hal itu. Tapi suamiku tak terima ketika Budhe meneruskan kalimatnya, "Vina itu dari kecil cuma doyan baca buku. Gak becus beberes rumah, apalagi masak!". Senyumnya menguncup, lalu ia mengajakku pulang.
Lalu ia menumpahkan amarahnya di perjalanan, "Aku kapok pergi ke sana! Istriku dibilang gak bisa apa-apa!". Ketika ia meneruskan omelannya, tak terasa air mata meluncur. "Sudahlah Mas, ini malam lebaran, kok marah-marah?", isakku. Namun ia tetap berhati panas.
Ketika motor hendak belok ke arah Gang patung pesawat, aku berteriak, "Ya sudah, kita pulang saja! Tak usah pergi ke rumah ibuk!". Memang kami berencana mengunjungi rumah ibu mertua. Sebenarnya tadi pagi kami sudah sowan ke sana, tapi ibu mertua menelepon agar kami datang lagi. Karena kakak ipar yang bermukim di Jombang baru saja datang.
Tapi ucapanku malah semakin mengobarkan api di dalam hatinya. Motor dilaju lebih cepat. Sepanjang malam aku hanya bisa memandang rembulan sambil berurai air mata. Sampai rumah, ia langsung masuk ke ruang kerja, lalu merokok. Aku naik ke lantai 2, meneruskan tangisku di kamar.
Paginya aku turun dari kasur, hendak mengambil air wudhu. Seusai sholat, kulihat ia sudah terbangun.Kuberanikan diri untuk memulai percakapan, "Mas mau kopi? Atau nasi goreng?". Mulutnya masih terkunci, lalu ia pergi berwudhu dan sembahyang di musholla rumah.
Setelah beribadah tiba-tiba ia menghampiriku, walau senyumnya belum mengembang. Aku meminta maaf terlebih dahulu, "maaf ya mas, kemarin Budhe seperti itu. Ia hanya tahu kebiasaanku waktu kecil. Tapi sekarang aku sudah berusia 25 tahun, dan berubah drastis".
Tangisku pun meledak lagi. Ya Allah, mengapa aku harus sedih di hari raya? Tiba tiba tangannya yang besar memelukku dari belakang. Ia berbisik, "maaf ya sayang, semalam aku tak terkendali. Padahal sayang sedang mengandung, nanti didengar anak kita".
Kamipun berpelukan erat. Ternyata semua ini hanya salah faham. Ia marah karena membelaku. Tapi aku sedang hamil, jadi perasaanku lebih sensitif, dan menganggapnya marah padaku.
Kejadian ini membuatku sadar akan arti sebuah kata maaf. Minta maaf bukanlah hal yang dilakukan hanya saat lebaran. Tapi wajib dilakukan saat merasa bersalah. Mungkin dulu aku banyak melakukan kesalahan, tapi suamiku sudah memaafkanku dalam hati. Seringkali ego yang meraja di hati, melarang kita untuk meminta maaf. Padahal maaf adalah tanda kebesaran hati dan kebijaksanaan.
Aku memeluk pinggangnya erat-erat. Motor dilarikan menembus gang-gang kecil di jalan Tlogomas. "Sabar ya nak, ayahmu sedang menundukkan izazil di dalam hatinya", bisikku pada janin yang ada di rahim. Kami baru saja berkunjung ke rumah Budhe, di hari pertama Lebaran. Di sana tak ada candaan semanis nastar. Namun kami terpaksa menelan sarkasme sepahit kopi tubruk tanpa gula.
"Memangnya kamu bisa masak?", selidik Budhe. Sebagai pengantin baru, wajar jika aku sering ditanyai hal itu. Tapi suamiku tak terima ketika Budhe meneruskan kalimatnya, "Vina itu dari kecil cuma doyan baca buku. Gak becus beberes rumah, apalagi masak!". Senyumnya menguncup, lalu ia mengajakku pulang.
Lalu ia menumpahkan amarahnya di perjalanan, "Aku kapok pergi ke sana! Istriku dibilang gak bisa apa-apa!". Ketika ia meneruskan omelannya, tak terasa air mata meluncur. "Sudahlah Mas, ini malam lebaran, kok marah-marah?", isakku. Namun ia tetap berhati panas.
Ketika motor hendak belok ke arah Gang patung pesawat, aku berteriak, "Ya sudah, kita pulang saja! Tak usah pergi ke rumah ibuk!". Memang kami berencana mengunjungi rumah ibu mertua. Sebenarnya tadi pagi kami sudah sowan ke sana, tapi ibu mertua menelepon agar kami datang lagi. Karena kakak ipar yang bermukim di Jombang baru saja datang.
Tapi ucapanku malah semakin mengobarkan api di dalam hatinya. Motor dilaju lebih cepat. Sepanjang malam aku hanya bisa memandang rembulan sambil berurai air mata. Sampai rumah, ia langsung masuk ke ruang kerja, lalu merokok. Aku naik ke lantai 2, meneruskan tangisku di kamar.
Paginya aku turun dari kasur, hendak mengambil air wudhu. Seusai sholat, kulihat ia sudah terbangun.Kuberanikan diri untuk memulai percakapan, "Mas mau kopi? Atau nasi goreng?". Mulutnya masih terkunci, lalu ia pergi berwudhu dan sembahyang di musholla rumah.
Setelah beribadah tiba-tiba ia menghampiriku, walau senyumnya belum mengembang. Aku meminta maaf terlebih dahulu, "maaf ya mas, kemarin Budhe seperti itu. Ia hanya tahu kebiasaanku waktu kecil. Tapi sekarang aku sudah berusia 25 tahun, dan berubah drastis".
Tangisku pun meledak lagi. Ya Allah, mengapa aku harus sedih di hari raya? Tiba tiba tangannya yang besar memelukku dari belakang. Ia berbisik, "maaf ya sayang, semalam aku tak terkendali. Padahal sayang sedang mengandung, nanti didengar anak kita".
Kamipun berpelukan erat. Ternyata semua ini hanya salah faham. Ia marah karena membelaku. Tapi aku sedang hamil, jadi perasaanku lebih sensitif, dan menganggapnya marah padaku.
Kejadian ini membuatku sadar akan arti sebuah kata maaf. Minta maaf bukanlah hal yang dilakukan hanya saat lebaran. Tapi wajib dilakukan saat merasa bersalah. Mungkin dulu aku banyak melakukan kesalahan, tapi suamiku sudah memaafkanku dalam hati. Seringkali ego yang meraja di hati, melarang kita untuk meminta maaf. Padahal maaf adalah tanda kebesaran hati dan kebijaksanaan.
“Tulisan ini diikutsertakandalam mini giveaway pengalaman yang menyentuh dalam rumah tangga”
nah, kalau suamiku kalau marah diam saja, bikin aku bingung . bahkan bisa sampai 3 hari. Biasanya aku sih duluan yang nyoel dirinya. kan musuhan gak boleh lebih dari 3 hari ya. Menurutku siapa dulu yang minta maaf gak penting , tapi yang penting bisa baikan lagi
BalasHapusiya betul...kalo didiemin malah berasa nelangsa
BalasHapusjangan ditunda-tunda ya
BalasHapusiyesss
HapusWuiihh suaminya perokok ya mba (salah fokus).. Aku juga gak bisa masak tuh, tapi gak ada yang komen macam macam hehehe.. Good luck GA nya
BalasHapusheheh iya perokok
Hapusamin..makasi doanya
mminta maaf butuh jiwa besar ya mba :)
BalasHapusiya..bangett
Hapusaku juga ga bisa masak mbak.. :D.. Tapi suami juga udh tau dari awal sih, makanya kadang kalo disindir ama keluarga, ya dia malah ketawa2 ngeledekin ;p.. akunya mah udh biasa ;p..
BalasHapusmoga menang GA nya mbak ;)
amin..makasih doanya ^^
Hapushuwaaa... maafff selalu beroleh bahagia ya mba
BalasHapusiya mba
HapusKesalahpahaman akan berakhir kalau mau minta maaf dan memaafkan.
BalasHapusCoba nggak minta maaf pasti sampai kapanpun nggak tahu kalau itu hanya sebatas salah paham atau tahunya sudah terlambat.
betulll
HapusItulah hebatnya kata sebuah maaf, mampu mencairkan dan mendamaikan suasana hati. Walau kita tidak merasa salah, tidak ada salahnya mengucapkan maaf.
BalasHapusiya..itu juga saya pelajari sejak 2011
Hapusdendam akan memakan jiwa. Dendam akan mengganngu tidur kita. Memaafkan, bisa membuat tidur nyenyak.
HapusSemakin lama mendendam..semakin sakit hati
Hapus