Siapa yang tak sakit hati jika anaknya diledek seperti itu? Apalagi oleh tetangga sendiri. Putra saya, Saladin memang sudah berusia 3,5 tahun, tapi dia jarang sekali mengeluarkan kata -kata dari mulutnya. Paling paling hanya ayah, mama, maem, jajan. Kosakatanya tidak bertambah selama dua tahun terakhir. Saking irit ngomongnya, sampai sampai ia dikira tuna wicara!
Umumnya anak bisa berbicara lancar saat berusia 2 tahun. Namun mengapa ia belum bisa ngomong? Dulu saya kira ia adalah anak pendiam, atau memang malas berbicara, seperti ayahnya. Tapi jangan jangan ia belum bisa berkomunikasi dengan baik, karena ada masalah di pendengarannya? Atau ia adalah anak autis?
Akhirnya Saladin dibawa ke sebuah rumah sakit, menuju praktek dokter spesialis THT. Setelah diperiksa, syukurlah, ternyata tak ada kelainan apa-apa di telinganya. Tapi nenek Saladin yang masih penasaran, membujuk untuk konsultasi ke sebuah Klinik Tumbuh Kembang.
Ruangan klinik yang senyap serasa meneror hati, apa yang harus dikatakan? Tapi senyum Pak Psikolog yang mengembang benar-benar menentramkan hati. Ia mempersilahkan untuk mencurahkan isi hati. Lalu saya bercerita tentang kekhawatiran Nenek Saladin, apakah ia autis, atau hiperaktif. Mengingat hobinya memanjat pohon, suka berlari, bahkan nekat menyeberang jalan sendiri.
Satu pertanyaan yang meluncur bagai bom atom, meluncur dari mulut beliau.
"Apakah Saladin menonton televisi lebih dari satu jam dalam sehari?"
Saya hanya bisa menjawab "ya". Sambil mengingat, berapa jam dalam sehari, durasi Saladin menonton televisi? Ya Tuhan, secara tak sadar saya menjadikan anak tunggalku budak televisi, karena ia betah menonton dari pagi hingga malam. Saya biarkan ia menonton tv karena saat itu ia bisa anteng, duduk diam dan memelototi layar. Sementara saya asyik bercengkrama dengan smartphone.
Ketika Saladin bosan dengan suatu program di televisi, ia memencet mencet tombol dan mengganti channel senaknya. Lalu bocah itu merebut smartphone dari tangan saya, menyetel musik, dan belajar memotret. Saat jenuh, maka dengan sigap ia memanjat kursi sebagai tumpuan, menuju ke atas lemari yang tingginya dua meter! Di sana ia tidak menangis, malah meringis dan berdiri, lalu fashion show di atas lemari!
Dan akhirnya saya menyadari kesalahan terbesar: Saladin terlihat seperti seorang hiperaktif dan bisu karena ia mencari perhatian dari mamanya, dan kurang diberi stimulasi. Memanjat adalah caranya untuk meminta perhatian saya. Mata yang tadinya terpaku pada layar smartphone harus beralih ke Saladin, ketika ia berada di atas lemari. Ia tidak nakal, hanya kurang kasih sayang.
Lalu ketika ia menonton televisi atau menonton video di hp terlalu lama, ia asyik sendiri. Seolah olah tersedot dengan dunia di dalam layar. Komunikasi satu arah dari televisi membuatnya kesulitan berkomunikasi dua arah. Ditambah lagi, saya jarang mengajaknya mengobrol, ia asyik bercengkrama dengan tv, sementara saya tak bisa lepas dari smartphone.
Hanya satu hal yang membuat saya lega: Saladin dinyatakan bukan anak autis maupun hiperaktif. Karena tidak ada tanda tanda anak autis pada dirinya. Ia hanya overaktif, dan hal ini wajar karena anak balita memang sedang lincah lincahnya. Anak overaktif sepintas mirip dengan anak hiperaktif. Anak yang overaktif meskipun gerakannya sangat lincah masih memiliki tujuan (misalnya, ingin mengambil kue di atas lemari). Kontak matanya pun ada, sementara anak hiperaktif tidak memiliki kontak mata.
Apa yang harus saya lakukan? Kata Pak Psikolog, yang pertama adalah matikan televisi. Bermain game di smartphone, laptop, maupun pc, juga tidak boleh. Diharamkan juga menonton video di youtube. Selain berpotensi membuat matanya juling, bisa membuatnya jadi egois, susah mengimitasi kata yang saya ucapkan, dan atensinya kurang.
Anak yang kecanduan gadget (televisi, smartphone, laptop, dan PC) berpotensi jadi egois karena ia bisa mengendalikan gadget itu seenaknya. Saat bosan, tinggal mengganti channel TV. Mengganti lagu yang ingin didengar dari smartphone juga mudah sekali, tinggal geser geser layarnya.
Jadi anak berharap semua orang menuruti keinginannya, mengendalikan sekitar, seperti caranya menguasai gadget. Jika keinginannya tidak dituruti, tantrum menjadi senjatanya untuk mendapatkan benda yang ia dambakan.Selama ini, jika Saladin marah, maka saya atau neneknya segera memberinya permen atau mengajaknya ke minimarket untuk membeli eskrim. Ternyata perilaku kami salah besar. Anak jadi berpikir, dengan amarah, ia mendapatkan hadiah, tak usah berkomunikasi untuk meminta makanan.
Semua orang yang ada di rumah juga harus bekerja sama, jadi televisi dimatikan ketika ia terjaga. Ketika Saladin bangun, ia tidak boleh meminjam hp dan laptop. Dua hari tidak menonton televisi membuat saya merasa aneh, tapi lama lama biasa. Saladin akhirnya mau diajak bermain menyusun balok dan puzzle. Sementara kelincahannya bisa disalurkan ke bidang olahraga, misalnya berlari, berenang dan bersepeda.
Jalan untuk terapi Saladin dipermudah setelah smartphone saya rusak. Inilah cara Tuhan untuk meredakan kecanduan gadget (nomophobia-no mobile phone phobia) yang bertahun tahun saya idap.Saya bisa fokus mengobrol dan membacakan cerita untuk Saladin.
Lalu saya membuat keputusan ekstrim: menutup toko online. Barang dagangan yang tersisa didiskon habis-habisan, dan saya hanya boleh online di PC selama anak tidur. Uang bisa dicari, tapi kesempatan untuk mendidik anak tidak bisa diulang. Apalagi Saladin memasuki masa golden age, masa keemasan dimana ia mudah sekali menyerap ilmu pengetahuan dari lingkungan sekitarnya.
Syukurlah sekarang Saladin mulai bisa mengimitasi kata kata yang saya ajarkan. Kami sering menyanyi dan membaca majalah anak-anak bersama. Jika ada orang lain yang ketahuan menonton tv, langsung ia matikan :D.
Saya tidak anti pada kemajuan teknologi televisi dan smartphone. Melalui televisi, kita bisa dapat hiburan dan mengetahui berita dari dalam maupun luar negeri. Jika ada smartphone tentu mempermudah komunikasi dan membuat pemilik toko online terbantu dengan fasilitas bbm, wa, dan sosial media. Bahkan ada tukang sayur yang siap mengirim pesanan melalui wa.
Tapi tentu saja semua itu harus dikendalikan. Balita boleh menonton televisi tapi maksimal satu jam dalam sehari. Biarkan mereka bermain di lapangan atau bersepeda di samping rumah.
Jangan sampai smartphone dan gadget menguasai kita, membuat kita terpaku berjam-jam menatap layar. Pernahkah anda melihat kumpulan orang yang makan di restoran? Mereka tidak mengobrol tapi asyik dengan hp masing masing. Smartphone bisa mendekatkan teman yang jauh, tapi juga bisa menjauhkan yang dekat. Janganlah kita diperbudak gadget dan kehilangan momen kebersamaan bersama keluarga tercinta.
Anakku enggak betahan kalau nonton tivi/main gadget...
BalasHapusAku juga kadang nemenin dia main sambil main gadget, toh sudah jadi bagian pekerjaan
Tapi tetep ngajakin dia ngobrol sih
iya, yg penting diajak ngobrol..jadi merasa diperhatikan bundanya
Hapuswah mba, pasti berat juga menceritakan hal sedih ini di publik yah.
BalasHapusDan keputusan yang sangat sulit untuk menutup bisnis online yang sudah lama dibangun, demi waktu yang efektif dengan anak, semoga rejekinya datang dari yang lain yah, amin
aku suka penjelasan secara teoritis dari psikolog mengenai perilaku Saladin, masuk akal dan meberitahu informasi.
salam kenal yah mba :)
www.buleipotan.com
saya nulisnya nyaris seminggu :D
Hapusamin..makasih banyak doanya, salam kenal kembali..
Waah baru nyadar ya mbak.Sebegitu besar dampak teknologi terhadap kehidupan sehari-hari.Saya bacanya jadi ikut merinding.Dulu anakku pertama juga speech delay karena dia bingung tiga bahasa.Aku ajak ngomong jawa,indonesia sama bhs Inggris.Malah telat ngomong umur dua tahun.Alhamdulilah umur tiga tahun dah bisa ngomong.Penegalaman kayak gitu..jd anak kedua aku ajak ngomong indonesia aja.Jadi gak bingung bahasa dia.Dan gak telat bicara.
BalasHapusiya..kalo langsung malah anak jd speech delay karena binung mau pke bahasa mana
Hapuswaduh kejadiannya hampir mirip kayak anakku. anakku di sekolah atensinya terganggu, males gerak, dan males ngomong, gurunya bilang karena kebanyakan gadget dan nonton tv. betulan loh kalo minta apa2 ga dikasih bisa tantrum, marah2 suaranya dikerasin. Sekarang lagi program dikurangin gadget dan nonton tv nya
BalasHapuswww.innovamei.com
anaknya umur berapa ya?
HapusWahhh aku gak bisa mge judge orang tuanya yang memberi anak 3,5th gadget.. Tapi aku tidak setuju anak umur demikian diberi gadget tanpa stimulasi dan bermain fisik.. Semoga anak nya bisa lebih aktif dari yang dulu
BalasHapusamin
HapusSaya jg mulai cabut kabel tv sejak beberapa bln terakhir...
BalasHapuswah kalo tv kabel bisa langsung dwibahasa...bisa bikin ananda bingung ya :)
Hapusyaa ampun sampai manjat-manjat gitu ya mba, mungkin bakatnya bisa diasah mba siapa tau emang passion nya di climbing hehe. Salam kenal :)
BalasHapusamin..salam kenal juga ^^
HapusWahhh kemarinnn udah ke paikolog dan dokter..bagus juga ini artikelnya, sekarang bagaimana perkembangannya, semoga makin pintar yah..
BalasHapusamin
Hapussemoga anaknya mba Mira juga makin pintar
Anakku emang betah banget kalo lihat gadget, Mbak. tapi ya aku ajak ngobrol. Apalagi kalo pas lihat TV dia suka joget2 atau perang2an. Insya Allah mau aku kurangi deh kebiasaan nonton TV dan YouTube.
BalasHapus