Selembar kain bernama pashmina itu menjadi perisai, jika digunakan untuk menutup rambut, leher,dan dada. Hijab, jilbab, apapun istilahnya. Menjadi penanda bagi seorang muslimah yang ingin taat kepada perintah-Nya.
Saya berjilbab sejak desember 2005, di ulang tahun saya ke-19. Alhamdulillah, berarti sudah 10 tahun saya berjilbab. Jilbab bukan hal asing bagi saya, karena mama, tante dan nenek semua memakainya.
Dulu demen banget baca majalah remaja, ikut trend kekinian. Jadi ketika memakai jilbab, saya berpikir harus pakai jilbab ala saya. Harus modis dong, kan fashionista.
Jilbab favorit saya yang berbentuk seperti selendang, warna pink, tapi agak tipis. Jadi harus pakai dalaman jilbab warna putih. Karena jilbabnya panjang jadi bisa dililit seperti kepangan rambut, kadang dililit bentuk bunga, dll. Artistik! Mencorong! Hanya itu yang ada di otak, harus dandanin jilbab setiap hari.
-jilbab lilit favorit saya-
Kebiasaaan pakai jilbab modis itu terbawa sampai tahun 2009, ketika saya kerja magang di sebuah perusahaan furnitur. Bahkan ada beberapa karyawan yang ingin diajari step by step, cara menghias jilbab. Jam istirahat makan siang jadi buka salon dadakan, heheh.Waktu itu yang ada di pikiran saya, jilba ya jilbab aja. Yang penting nutup kepala. Belum terjamah istilah jilbab syar'i.
Ketika saya hamil di awal tahun 2012, baru terpikir untuk memakai jilbab yang menjulur dan menutup dada. Tidak disuruh suami, sih, tapi orang hamil kan ukuran "pd"nya lebih besar. Jilbab yang lebar bisa menutupinya. Tapi untuk urusan hias menghias jilbab teteep dong. Malah banyak yang bilang kalau ibu hamil semakin cantik, dengan dukungan jilbab lilit yang dikenakan.
Sampai di suatu hari, tahun 2014, semua berubah. Pagi itu, beberapa peniti, bros, dan jarum pentul, bergelayut dan menempel di jilbab hitam. Walau sudah punya anak, tetap modis dong. Sekilas melihat penampilan saya di cermin, cantik! Gak malu-maluin kalau ketemu ibu lain di posyandu.
Saat itu masih pukul delapan, keheningan menyapa di Balai RW, yang dijadikan lokasi posyandu. Rupanya belum ada ibu lain yang datang, hanya ada dua petugas. Segera saya masukkan Saladin, putra saya ke timbangan gantung, lalu..
"Bu nanti ada petugas puskesmas jadi tunggu dulu ya. Mau ada imunisasi pentavalen. Sekarang gratis lho, kalau dulu harus bayar 350.000". Spontan saya menjawab, "Iya Bu, petugasnya datang jam berapa?". "Sebentar lagi", kata beliau sambil tersenyum.
Hmm, duduk di kursi pojok situ saja, sambil menunggu. Tik, tik, tik, jarum jam berdetak. Sudah sepuluh menit, dua puluh menit, petugas puskesmas yang dinanti tak kunjung datang. Kemudian..
BREET!
"Aduh!". Nak, jangan tarik tarik jilbab mama! Tangan mungil Saladin asyik menarik simpul jilbab di sebelah kanan. Saat simpul itu dibetulkan eh ia malah menarik bros di sebelah kiri.Segera saya buka bros, dan jarum pentul, khawatir melukai kulit halusnya.
Ya Allah, apakah ini teguranmu? Bukankah jilbab itu sebagai pelindung, bukan pengganti hiasan kepala?
Melalui tangan kecilnya, Saladin mengingatkan, bahwa jilbab itu pelidung, bukan rambut yang bisa seenaknya dihias. Akhirnya sejak saat itu saya memakai bergo biasa, jilbab instan yang menutup dada, atau pashmina. Sederhana, yang penting serasi dengan warna baju. Lagipula, mengkreasi jilbab sendiri terlalu menyita waktu, lebih baik digunakan untuk memberi susu.
-sekarang pakai pashmina saja-
Bagi saya inilah hijab yang nyaman di hati. Menutup aurat, menjaga dari pandangan laki-laki. Semoga saya istiqamah memakai jilbab syar'i.
Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway "Hijab yang nyaman di hati".
Saladin pinter yaa.. :)
BalasHapusMoga Mama Saladin menang, dan dapet pashmina.. hehe..
amin..
BalasHapusmaunya sih dapat buku hehehe :)
saya aminkan semua doanya....:) terimakasih sudah berpartisipasi mba...
BalasHapusamin
Hapussama sama
Aamiin untuk do'anya ...
BalasHapusamin
Hapus