Selasa, 25 Maret 2025

Best Moment Blogging: Ketika Tulisan Parentingku Bermanfaat untuk Orang Lain

Perjalananku sebagai blogger dimulai lebih dari 10 tahun lalu. Lalu ketika ditanya, apa hal yang terbaik ketika ngeblog? Maka jawabannya adalah saat tulisan-tulisanku di sini bermanfaat bagi orang lain.

Sebenarnya daku tak menyangka blog ini akan ramai pengunjung, meski banyak di antara mereka yang tidak berkomentar. Netizen membaca blogku karena daku share link di sosial media, baik di status sendiri maupun saat mengomentari status orang lain. Memberikan link blog sangat praktis karena mereka bisa membaca sendiri pengalamanku sebagai ibu dari anak istimewa (ADHD).

Sosialisasi Anak Istimewa

Dari pergaulanku dengan banyak orang (di dunia nyata maupun dunia maya) ternyata ada yang belum paham, apa sih anak istimewa? Malah ada yang menyangka anak autis itu (maaf) tidak normal karena suka marah-marah dan tidak bisa dikendalikan. Setelah kulihat langsung, ternyata si anak sedang fase sugar rush (kebanyakan konsumsi glukosa).



Ternyata ada orang yang belum paham bahwa spektrum autis itu luas, anak kinestetik yang disangka hiperaktif (seperti Saladin), dan kondisi anak-anak istimewa yang lain. Di sini, daku sebagai orang tua anak istimewa berusaha menjelaskan bahwa mereka memang ada. Anak istimewa memang berbeda tapi jangan dipandang negatif.

Daku memang bukan psikolog atau psikiater, tapi berdasarkan pengalaman mengasuh Saladin selama 12 tahun ini, jadi paham cara mendidik anak istimewa. Saat diberi anak spesial maka orang tua punya stok kesabaran seluas samudera dan memahami mereka yang pola pikirnya berbeda. Dengan penuh welas asih maka anak istimewa akan merasa disayang, dan bisa diarahkan, meski butuh waktu.



Berdasarkan pengalaman, akhirnya muncul banyak tulisan parenting di blog tentang anak istimewa dan mereka yang masih awam pun jadi paham. Biasanya kusarankan anaknya untuk dibawa ke psikolog anak untuk obeservasi lebih lanjut, apa butuh terapi khusus, dll. Jangan takut untuk datang ke psikolog untuk konsultasi, dan mari hapus stigma negatif bahwa curhat ke psikiater hanya berlaku untuk orang gila.

Punya Anak Istimewa Tidak Memalukan

Dari banyak tulisanku, daku berusaha memberi pemahaman kepada pembaca bahwa punya anak istimewa itu tidak memalukan. Sebenarnya si bocah juga tidak tahu mengapa dia diciptakan sebagai anak ABK, bukan? Jadi jangan dimarahi, bahkan dianggap sebagai “kutukan” atau “karma” karena orang tuanya melakukan perbuatan buruk di masa lalu.



Justru dari anak istimewa kita bisa belajar tentang banyak hal. Mereka yang punya “kekurangan” (misalnya terlambat bicara atau hiperaktif) ternyata tegar dan mau ikut terapi. Anak-anak berhati murni memberi tahu orang tua bahwa dunia begitu berwarna, dan pasti Tuhan menghadirkan mereka dengan suatu misi, misalnya agar lebih bersyukur dan bersabar.

Memutus Mata Rantai Pengasuhan Negatif

Salah satu misiku di blog Catatan Bunda Saladin adalah memberi tahu bahwa parenting ala VOC (yang penuh dengan kekerasan) sudah tidak lagi relevan dengan zaman sekarang. Jika dulu anak bisa patuh hanya dengan pelototan mata, atau sesekali dicubit orang tuanya, maka tidak bisa diterapkan pada anak sekarang. Penyebabnya karena mereka jauh lebih kritis.

Alhamdulillah kalau para pembaca blog juga sadar bahwa mata rantai pengasuhan negatif harus dihapuskan. Mereka yang dulu jadi korban VOC parenting, memutuskan bahwa anak tidak boleh dikerasi sama sekali. Meski ada trauma tapi menyadarkan mereka bahwa mendidik anak tak usah pakai “main tangan” karena memang tidak efektif.

Gentle Parenting



Mulai banyak pembaca blog Catatan Bunda Saladin yang setuju akan artikel-artikelku tentang gentle parenting. Di mana anak dididik dengan kelembutan dan kasih-sayang. Mereka juga paham bahwa gentle parenting tidak membuat anak jadi manja karena faktanya anak tetap diajak untuk inisiatif bersih-bersih dan punya kedisiplinan yang tinggi.

Parenting Bukan Hanya untuk Orang Kaya

Salah satu hal yang mengejutkan dari banyak komentar netizen adalah anggapan bahwa parenting hanya untuk orang kaya? Ya Tuhan….

Pengasuhan dengan gaya parenting positif (yang penuh dengan kasih dan sayang) dianggap “hanya” berlaku bagi orang kaya karena mereka tidak pusing memikirkan uang bulanan. Langsung saja kujelaskan (melalui tulisan) bahwa ada kok orang tua dari kalangan menengah dan menengah ke bawah yang sabar dalam mendidik anak. Janganlah berprasangka negatif, dan Tuhan memberi kesabaran bagi semua orang, bukan hanya untuk yang kaya saja.

Menjelaskan Tentang Speech Delay

Selain tentang anak istimewa, blog Catatan Bunda Saladin juga pernah membahas tentang anak yang terlambat bicara. Rasanya senang ketika ada yang membaca artikel mengenai speech delay lalu mereka paham apa saja penyebabnya (misalnya terlalu banyak nonton di HP atau TV). Ternyata anak sekarang yang punya ponsel di usia yang sangat muda, bisa terlambat bicara karena kurang stimulasi.



Anak yang terlambat bicara masih bisa dilatih, asal mau diet gadget dan terapi wicara (baik oleh terapis atau orang tuanya sendiri). Pembaca blog Catatan Bunda Saladin juga paham kalau penyebab lain speech delay adalah bingung bahasa. Seperti Saladin yang dulu baru bisa ngomong di usia yang nyaris 4 tahun, ternyata dia bingung mau bicara bahasa Inggris, Jawa, atau Indonesia.

Menjelaskan tentang Sekolah Alam

Momen manis lain saat ngeblog adalah ketika daku menjelaskan tentang sekolah alam kepada para pembaca. Saat masih ada yang belum paham apa itu sekolah alam, atau malah mengejek (karena para murid “hanya” terlihat menggelindingkan ban bekas di pagi hari), maka daku tetap bersabar. Sebenarnya, kegiatan ini melatih motorik kasar dan anak-anak di sekolah alam (yang rata-rata kinestetik) butuh penyaluran energi sebelum belajar di kelas.





Sekolah alam menjadi sekolah yang cocok bagi anak istimewa karena lebih banyak praktek daripada teori. Di sana, murid diajari untuk dekat dengan alam, merawat tanaman dan hewan, dan grounding (berjalan tanpa alas kaki). Salah satu wali murid bercerita kepadaku kalau aktivitas grounding ini sama seperti yang anaknya dapatkan saat terapi di salah satu rumah tumbuh kembang.

Apakah anak istimewa butuh guru shadow di sekolah alam? Biasanya guru tersebut dibutuhkan agar anak punya tentor pribadi yang lebih fokus mengurusnya. Akan tetapi di SD Alam tempat Saladin sekolah, kelasnya relatif kecil (hanya 3-4 anak) sehingga anakku tidak memakai jasa guru shadow.

Bermanfaat untuk Orang Lain

Senang sekali ketika blog Catatan Bunda Saladin yang tampilannya cukup sederhana dan masih memakai free template bisa menarik para pembaca. Prinsipku, ilmu dan pengetahuan wajib disebarluaskan, agar makin banyak yang paham tentang parenting dan segala liku-likunya. Bahkan bagi netizen yang belum menikah, mereka jadi punya gambaran jika kelak berumah tangga dan memiliki anak sendiri.



Memiliki blog bukan sekadar mengejar monetasi dan traffic, akan tetapi memberi banyak manfaat bagi pembaca. Alhamdulillah jika ada yang jadi paham tentang parenting dan cara mengasuh anak istimewa berkat artikel-artikel di blog Catatan Bunda Saladin. Inilah best moment blogging yang sesungguhnya, tulisanku bisa bermanfaat untuk banyak orang.

 

Senin, 24 Maret 2025

Anakku Istimewa dan Daku Bangga Padanya

 Tiap ibu pasti bangga pada anaknya, begitu juga denganku. Kadang jadi flashback saat dia masih kecil. Saladin saat lahir terlihat normal, hanya saja tangisannya keras sekali. Begitu usia 1,5 bulan dia sudah bisa tengkurap. Umur setahun bisa berjalan, lalu belajar berlari. Benar-benar menyenangkan karena kemampuan motoriknya bagus.



Perkembangan fisik Saladin sangat cepat dan saat itu baru daku sadari kalau dia tipe anak kinestetik. Akan tetapi saat dia bisa berlari, rasanya kewalahan. Selain memanjat lemari, dia juga memanjat pagar rumah, naik pohon, lalu turun dengan cara meloncat. Bagaimana tidak deg-degan tiap hari jika punya anak yang sangat aktif sepertinya?

Mengapa Anakku Berbeda?

Akan tetapi kemampuan bergerak Saladin bagai berbanding terbalik dengan skill bicaranya. Dia baru bisa babbling di usia 2 tahun lebih. Sampai usia 3 tahun pun masih diam saja. Ooh, mengapa kau begini, sayang?

Kakek dan nenek Saladin juga ikut bingung, apalagi bocah itu merupakan cucu pertama. Akhirnya Saladin dibawa ke dokter spesialis THT, Alhamdulillah tidak ada masalah di telinganya. Kemudian Saladin dibawa ke psikolog anak dan ternyata dia didiagnosa super active!



Saat itu langsung shock tapi juga lega karena Saladin bukan autis (seperti dugaan sebelumnya). Kata psikolog, bedanya adalah anakku masih mau menatap mata lawan bicaranya. Kalau dia memanjat juga punya tujuan (misalnya memetik buah di pohon).

Proses Terapi yang Melelahkan

Walau sudah didiagnosa super active daku sebenarnya masih agak ragu, jangan-jangan ini penghalusan istilah dari ADHD? Jadi anakku adalah anak ABK (anak berkebutuhan khusus)? Oh tidaak!

Akhirnya Saladin melakukan terapi yakni terapi wicara dan perilaku. Ternyata terapinya juga menyenangkan, bermain sambil belajar (daku sempat ngintip dari kamera CCTV yang tersedia). Alhamdulillah setelah beberapa bulan Saladin bisa bicara dengan lancar.



Anehnya, ketika kuajak bicara dengan bahasa inggris, ngomongnya jauh lebih bagus. Ternyata selama ini Saladin bingung bahasa, akhirnya dia memilih untuk diam saja! Oalah nak! Maaf ya, dulu bundamu guru bahasa inggris jadi maunya mengajari sejak dini, dan jadinya mother language-nya adalah English.

Memang di rumah dulu pakai 3 bahasa, Indonesia, Inggris, dan Jawa. Jadi seharusnya orang tua dan semua yang bergaul dekat dengan anak konsisten hanya pakai 1 bahasa biar anak tidak mengalami bingung bahasa.

Jangan Selalu Melihat Kejelekan Anak

Setelah paham apa keistimewaan Saladin, maka daku berusaha untuk tidak selalu melihat kejelekannya. Memang dia lambat bicara, bahkan saat TK juga cenderung pendiam. Tapi bukan berarti ini memalukan. Memangnya kenapa kalau anak jarang ngomong?

Dear orang tua, jangan selalu melihat kejelekan anak karena dia pasti akan merasa, dan bisa rendah diri karenanya. Misalnya ketika anak masih susah ngomong, malah dibentak, jadinya malah gagap. Saat anak pendiam, makin disuruh ngomong malah makin mingkem.

Membandingkan Anak dengan yang Lain?

Daku juga berhenti membandingkan Saladin dengan anak lain. Dulu, kalau lagi capek kejar-kejaran dengannya, sementara sudah jam 10 malam, pernah daku bertanya begini: mengapa anakku tidak seperti anak lain yang anteng dan normal? Rasanya sedih, apalagi ketika jam tidurnya juga berantakan.



Akhirnya daku berhenti membandingkan karena merasa bersalah. Apa salah Saladin? seharusnya daku sebagai orang tuanya harus lebih sabar. Bukannya berharap dia bisa anteng seperti anak lain. tiap anak berbeda perangainya dan daku butuh waktu untuk memahaminya.

Yang kulakukan selain berhenti membandingkan Saladin dengan anak lain adalah mengatur pola makan dan minumnya. Meski tidak ada larangan dari dokter, tapi daku takut bocahku kena sugar rush. Jadi memang harus dikurangi kadar gula dalam asupan makanan dan minumannya, agar dia lebih tertib dan berkurang aktifnya.

Fase Penerimaan

Setelah stress selama bertahun-tahun maka daku masuk ke fase penerimaan. Bagaimanapun, sebagai bundanya, tidak bisa terus denial. Anak istimewa tetap anugerah dari Tuhan. Dia hadir untuk disayangi, bukan disesali.



Untuk apa daku terus menyangkal bahwa Saladin berbeda dari anak kebanyakan? Mengapa daku selalu marah saat dia tidak bisa diam? Padahal sebelum menikah pun sudah belajar tentang perkembangan anak, karena ada banyak buku psikologi di perpustakaan keluarga.

Penerimaan butuh waktu bertahun-tahun, juga keluasan hati yang banyak. Tak mungkin daku terus menyangkal bahwa anakku berbeda. Akan tetapi pasti ada tujuan mengapa dia diciptakan Tuhan seperti itu.

Bersyukur Karena Belajar Sabar

Setelah fase penerimaan maka ada satu hal yang kusyukuri: jadi belajar untuk lebih sabar. Dulu daku orang yang reaktif dan agak emosional. Akan tetapi ketika punya anak yang suka menggoda, memanjat, dan tingkahnya agak ajaib seperti Saladin, mau tak mau harus sabar.



Hati ini jadi lebih lapang dan menerima apapun kelakuan Saladin. Dengan catatan selama tidak melanggar peraturan atau membahayakan diri sendiri. Daku pun belajar untuk menurunkan suara dan lebih banyak memeluknya, dan kemarahan itu menguap begitu saja.

Menjadi Orang Tua yang Pengertian

Memiliki anak istimewa seperti Saladin, yang tiba-tiba sudah berlari mengelilingi rumah, atau iseng memanjat jendela, juga membentukku untuk jadi lebih pengertian. Dia sendiri juga belum paham mengapa tubuhnya ingin bergerak terus. Jadi yang bisa kulakukan adalah menyalurkan energinya.



Dengan penuh kasih-sayang dan pengertian, Saladin kuajak untuk jalan pagi, membersihkan rumah, belajar memasak, berkebun, dll. Alhamdulillah setelah diarahkan ternyata dia bisa melakukannya dengan cukup bagus. Energinya memang perlu disalurkan agar tidak marah-marah di rumah (kalau dulu ngamuknya ngeri, sampai mengigit lengan atau memukul kepalanya sendiri).

Bangga pada Bakat Bahasa

Alhamdulillah Saladin ternyata punya bakat bahasa. Dia belajar alphabet sejak usia 3 tahun. Bisa dibilang dia lebih bisa membaca baru bicara. Sekarang di usia 12 tahun, dia senang belajar huruf Rusia, Korea, China, dll.



Bahkan Saladin juga diam-diam belajar linguistik dari Youtube. Bagaimana tidak kaget kalau dulu daku belajar phonology di kampus, pada usia 20 tahun. Namun anakku mampu memahaminya di usia yang jauh lebih muda.

Tiap Anak Punya Keunggulan Masing-Masing

Jadi, jangan terlalu memusingkan jika ada kelakuan anak yang berbeda dari teman sebayanya, atau saat dia divonis anak istimewa. Yakinlah anak punya keunggulan masing-masing. Saat ada kekurangan pasti ada kelebihannya.



Pesanku, jangan terlalu melihat kekurangan anak lalu dia disalahkan terus-menerus. Kita yang digitukan pasti merasa tidak enak, bukan? Lebih baik fokus pada kelebihannya dan orang tua memang harus punya toleransi dan kesabaran yang luar biasa.

Jika ingin melihat kelebihan anak, coba dibawa ke psikolog atau konselor keluarga. Nanti akan disarankan untuk ikut tes minat bakat sehingga terlihat dia sebenarnya punya bakat di bidang apa. Ingat ya, ibu-ibu! Bakat itu ada banyak dan kecerdasan bukan hanya di bidang matematika, masih ada kecerdasan yang lain.

Kesimpulan 

Saat Saladin sudah 12 tahun maka daku tidak menyesal menjadi ibunya. Justru daku bersyukur karena selama lebih dari satu dekade bisa belajar banyak hal: kesabaran, toleransi, kasih-sayang, ilmu psikologi anak, dll. Saladin adalah anugerah yang terbungkus dalam label anak istimewa. 

Minggu, 23 Maret 2025

Gentle Parenting vs VOC Parenting, Benarkah Orang Tua yang Terlalu Lembut Bikin Anak jadi Pemalas?

 Kemarin daku melihat sebuah postingan di sosial media. Isinya kurang lebih seperti ini: si ibu merasa stress karena anak-anaknya susah diatur sehingga dia sering marah. Dia bertanya pada netizen, adakah di antara mereka yang soft spoken?

Yang dimaksud soft spoken adalah ibu yang sabar banget, suaranya lembut, dan bahkan tidak pernah marah. Orang tua seperti ini menerapkan gentle parenting. Kalau bicara benar-benar halus seperti Umma-nya Nussa dan Rarra (siapa suka nonton serial ini juga?).

                                       dari akun FB Nussa  Rarra




Akan tetapi kolom komentar malah berubah jadi ajang perdebatan yang mengerikan. Di mana ada ibu yang bangga punya anak dengan didikan VOC alias keras. Sementara ada ibu lain yang cerita kalau dia kontra dengan ibu yang soft spoken karena terlalu menerapkan gentle parenting sehingga menghasilkan anak-anak yang malas.

Pengertian Gentle Parenting

Sebenarnya apa arti gentle parenting? Ini adalah metode membesarkan dan mendidik anak dengan lembut. Anak lebih sering dipanggil dengan sebutan “sayang” atau “cinta”. Jika dia tidak sengaja melakukan kesalahan, sang ibu hanya mengingatkan untuk lebih berhati-hati dan jangan diulangi lagi.

Beberapa tahun ini mulai ada gerakan gentle parenting agar anak bisa merasakan kasih-sayang yang sesungguhnya. Anak tidak merasa takut dan mau dekat dengan orang tuanya, karena memang jarang sekali marah. Kecuali kalau ada kesalahan yang besar, orang tua baru mengingatkan dengan nada tinggi.

                            Pixabay
 

Jadi gentle parenting itu bukan berarti ayah atau ibunya sabar dan lemah-lembut terus-menerus ya. Pasti ada masa di mana salah satu orang tua mengingatkan dengan tegas. Kalau anak melakukan kesalahan besar juga dihukum tapi tidak main fisik. Misalnya dengan hukuman potong uang saku, tidak boleh keluar rumah saat liburan, dll.

Sisi Positif Gentle Parenting

Ada beberapa keunggulan dari gentle parenting. Pertama, anak bisa lebih dekat (secara emosional) dengan ayah dan ibunya. Mereka mau bicara layaknya dengan teman sebaya, tapi masih tetap menghormati orang tuanya. Penyebabnya karena sang ibu memang berperangai halus dan tidak emosional.

                                       Pixabay 

Kedua, anak juga tumbuh menjadi pribadi yang penuh dengan kasih-sayang. Dia lebih mudah empati dan suka memeluk saudaranya. Anak juga jarang marah karena memang tidak diberi contoh kemarahan yang membabi-buta oleh orang tuanya.

VOC Parenting Itu Apa?

Sebaliknya, ada VOC parenting yang biasanya merupakan didikan zaman dulu. Di mana anak diajari dengan keras, tegas, dan kalau perlu main tangan. Alasannya, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat karena sejak kecil sering dimarahi. Bahkan ada ibu yang berprinsip kalau lebih baik anak dimarahi olehnya daripada dimarahi orang lain.

                                 Pixabay

Alamak! Tak terbayang anak yang dapat didikan VOC parenting. Dia takut melakukan kesalahan karena jika menumpahkan makanan, akan dicubit. Kalau malas mengerjakan PR, sabuk bisa melayang. Aduuuh, ini anakmu kenapa jadi korban KDRT, duhai orang tuaaaaaaa!  

Trauma Akan Kekerasan

Anak yang jadi korban VOC parenting bisa mengalami trauma akan kekerasan. Mereka takut untuk berdekatan dengan orang tuanya, dan memilih untuk merantau seusai kuliah atau sekolah. Bertemu orang tua hanya dalam kondisi formal, misalnya saat lebaran.

                                                 Pexels              

Yang menyedihkan adalah siklus kekerasan di mana para korban berubah menjadi pelaku. Saat anak sudah dewasa maka dia akan bersikap keras juga karena meniru perlakuan ibunya di masa lalu. Siklus negatif yang berulang dan mengerikan.

Oleh karena itu sebaiknya sebelum menikah, calon istri dan suami wajib menceritakan gaya parenting orang tua masing-masing dan membuat kesepakatan. Kalau ada salah satu “lulusan” VOC parenting maka bisa konsultasi dulu ke psikolog atau konselor keluarga. Jadi bisa menyembuhkan inner child dan tidak akan berlaku buruk ke anak.

Apa Benar Gentle Parenting Bikin Anak Malas?

Kembali ke pembahasan gentle parenting. Apa benar akibatnya anak jadi mager alias malas gerak? Jadi ibunya terlalu soft spoken sehingga tidak didengarkan oleh anaknya, dan dia jadi tidak mau membantu pekerjaan di rumah seperti menyapu dan menyiram tanaman?

Bukan begitu ya pemirsa! Anak malas atau rajin sebenarnya tergantung didikannya. Kalau ibunya lemah-lembut tapi mendidik dengan tegas, maka anak bisa rajin, kok!

Misalnya ada ibu yang suaranya lembut, jarang marah, tapi anak-anaknya rajin bantu cuci baju, beresin lemari, dll. Anak mau melakukan dengan suka-rela karena dia sudah dilatih untuk mandiri sejak kecil. Kemudian, dia juga dipuji saat mau bantu mengepel lantai. Anak akan happy lalu merasa jadi hero setelah menolong ibunya.

Orang Tua yang Sangat Perfeksionis

Salah satu penyebab anak jadi malas adalah orang tua yang terlalu perfeksionis. Misalnya saat anak menumpahkan air dari teko, langsung dimarahi. Padahal dia sedang belajar menuang air minum sendiri.

Bayangkan jika kalian ada di posisi anak. Saat ingin belajar masak mie malah diejek, dibilang kelembekan. Ketika mau menyapu malah dibilang kurang bersih. Akibatnya anak jadi malas bantu-bantu di rumah karena standar kebersihan ibu yang terlalu tinggi dan kebiasaan menghina tiada tara.

                                   Saladin

Jadi orang tua memang harus sabar seluas samudra, apalagi saat mengajarkan anak bersih-bersih. Kalau misalnya bantu mengepel tapi kurang resik, biarkan aja, tapi puji dulu insiatifnya. Nanti kalau dia lagi main keluar bisa diulang lagi ngepelnya. Yang penting dia tidak pusing karena sudah mau membersihkan rumah dan dapat respon positif.

Terlalu Memanjakan Anak

Penyebab lain dari kemalasan anak adalah kebiasaan memanjakan yang keterlaluan. Misalnya anak sudah SMA tapi dicucikan bajunya. Minimal dia sudah belajar mencuci pakaian dalamnya sendiri dan paham cara kerja washing machine. Sehingga saat PRT mudik atau ibu sakit tidak kelimpungan.

                                      Pexels

Ada juga anak yang terima beres. Saat bangun tidur tinggal mangap karena sarapan sudah tersedia. Lalu dia main game tanpa mandi pagi. Saat siang baru merengek minta jajan seenaknya sendiri. Jangan dibiasakan karena anak bisa malas mandi dan malas ngapa-ngapain ketika liburan.

Orang tua wajib paham kalau kasih-sayang pada gentle parenting bukan berarti harus memanjakan anak. Boleh saja membiarkan mereka bermain tapi harus ada jam malam. Saat anak mau makan sesuatu (misalnya kentang goreng) maka wajib untuk bantu kupas kulit kentang (pakai peeler biar lebih mudah).

Kesimpulan

Pengasuhan yang keras alias VOC parenting sudah tidak relevan dengan zaman sekarang karena anak sudah lebih pintar berdebat dan kritis. Mereka bisa balas cubit atau memviralkan kekerasan dalam rumah tangga, karena merasa kesal akan orang tuanya. Lagipula kalau dipukul sakit, kan? Mengapa kalian tega menyakiti anak sendiri?

                                        Pixabay

Kemudian, orang tua atau calon orang tua wajib paham bahwa didikan halus pada gentle parenting bukan berarti membuat anak jadi manja. Saat ibu bicara dengan halus maka ayah mengimbangi dengan ketegasan. Anak jadi belajar disiplin dan tidak malas-malasan.

 

Jumat, 21 Maret 2025

Jadi Ibu Tak Harus Sempurna, yang Penting Bahagia

  

Menjadi ibu membuat wanita bahagia tapi di balik kesenangan ada sederet tugas yang bertumpuk. Mulai dari membersihkan rumah (jika tidak ada PRT), mencuci, memasak, dll. Ibu juga mengurus keperluan suami dan anak.

 

Khusus untuk anak, ibu juga mengasuh, memandikan (saat masih kecil), membuatkan makanan khusus (MPASI), dll.  Seorang ibu juga masih sempat untuk menyiram tanaman dan melakukan kegiatan lain. Apalagi bagi ibu yang wanita karir, pasti lebih sibuk lagi.

 

Sebanyak itu tugas seorang ibu dan akhirnya membuat remuk, lelah lahir batin. Rasanya hidup hanya untuk membuat semuanya sempurna. Rumah yang bagus dan kinclong, anak yang sehat dan cerdas, baju-baju rapi di lemari, dll.

 

Terlalu Mengejar Kesempurnaan

 

Pernahkah ibu merasa capek padahal sudah tidur selama 8 jam sehari? Atau merasa marah terus-menerus padahal anak hanya melakukan kesalahan kecil (misalnya tak sengaja menumpahkan minuman). Ini bahaya lho!

 

                                                Unsplash

Bisa saja kita punya rumah bersih, makanan siap santap, anak yang cakep, hampir sempurna di semua sisi. Tapi ibunya stress karena terlalu mengejar kesempurnaan. Ibu jadi bertanya-tanya, di mana letak kebahagiaan sejati? 

 

Ibu-ibu tolong ya! Jangan mengejar kesempurnaan karena itu hanya milik Tuhan. Saat anak tak sengaja membuat rumah kotor bukan berarti dia sengaja. Jangan dimarahi apalagi dicubiti. 

 

Terlalu mengejar kesempurnaan itu melelahkan banget. Akibatnya anak jadi takut berbuat salah. Padahal kesalahan terjadi sebagai salah satu bentuk pembelajaran, bukan?

 

Mengesampingkan Kebutuhan Pribadi demi Orang Lain

 

Ada juga ibu yang mati-matian berkorban demi orang lain (misalnya anak dan suami), tapi akhirnya mengesampingkan kebutuhan pribadi. Misalnya saat punya uang dari hasil bisnis sampingan, malah belikan anak mainan mahal. Padahal dia sendiri juga butuh skincare dan  bedak karena yang lama sudah habis.

 

Jangan diulangi ya, Bu! Membelikan anak itu boleh tapi jangan sampai jadi punya perasaan lelah berkorban. Saat anaknya sudah punya mainan dan baju yang bagus, tak ada salahnya beli baju atau kebutuhan pribadi ibu. Hal ini bukan egois, tapi sebuah kewajaran.

                                            Unsplash

 

Jangan terlalu sering berkorban sampai akhirnya merasa tidak ada gunanya bekerja. Lha hasil kerja kan buat seluruh anggota keluarga, jadi diri sendiri juga berhak dong untuk belanja. Kalau ada uangnya mengapa tidak shopping? Toh tidak setiap hari dan masih on budget.

 

Melupakan Kesehatan Sendiri

 

Sering juga kulihat fenomena saat ibu terlalu sibuk membuat rumah bersih dan rapi karena tidak ada PRT. Akhirnya setelah subuh mandi lalu memasak sarapan dan bekal. Saat anak sekolah, rumah dirapikan sampai sempurna.

 

Sayangnya semua kerapian membawa korban karena ibu lupa tidak sarapan. Alasannya nanti saja setelah selesai mencuci. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. 

                                                 Pexels

 

Kalau lapar ya makan, atuh! Isi tenaga dulu sebelum beberes. Jika sering telat makan maka bisa kena maag dan akhirnya pusing sendiri, bukan?

 

Jangan biarkan diri ini sakit gara-gara alasan sepele seperti telat makan. Atau, ibu jadi kram tiap malam karena terlalu rajin bersih-bersih tanpa kenal waktu. Utamakan kesehatan, bukan kesempurnaan.

 

Seperti Apa Keluarga yang Sempurna?

 

Fenomena lain yang ada di keluarga-keluarga di Indonesia adalah menunjukkan keluarga yang sempurna. Ayah bekerja di kantor. Ibu yang jadi wanita karir. Atau ibu yang bekerja dari rumah. Anak berprestasi dan punya banyak piala.

 

Akan tetapi demi label kesempurnaan, semua jadi korban. Anak dipaksa ikut les ini dan itu sampai stress sendiri. Suami disuruh lembur karena cicilan mobil mewah yang tinggi sekali. Apakah mau hidup seperti ini? Bukannya sempurna malah mumet!

                                                Unsplash

 

Kasihan sekali jika anak disuruh berprestasi tapi tidak sesuai dengan minatnya. Dia suka seni malah disuruh belajar matematika. Dia juga dipaksa ikut banyak kegiatan dengan alasan demi masa depannya.

 

Tolong jangan ambil hak bermain anak! Masih ingatkah kalian berita anak yang killing his parents karena stress disuruh terus belajar? Menyedihkan sekali karena anak bisa melakukan tindakan kriminal gara-gara ditekan terus-menerus.

 

Jangan Keracunan Standar Sosial Media

 

Sosial media juga berpengaruh besar terhadap standar kebahagiaan dan kesempurnaan. Di mana ditampakkan keluarga bahagia adalah yang kaya-raya. Banyak selebgram yang flexing kekayaan dan membuat followers jadi iri hati.

 

Saat keracunan standar sosial media maka lagi-lagi memakan banyak korban. Suami disuruh romantis setiap saat. Padahal bahasa cintanya berbeda. Jika beliau sudah tanggung jawab dan sabar, mengapa masih dicari celanya gara-gara tidak pernah mengajak candle light dinner?

 

Fokus pada Keluarga Sendiri

 

Sudahlah, Bu! Lebih baik fokus pada keluarga sendiri alih-alih melihat keluarga orang lain yang terlihat lebih sempurna. Apalagi 'hanya' keluarga selebgram. Percayalah, mereka hanya menampakkan yang baik di sosial media, bukan berarti kehidupannya sempurna 100%.

 

Jika ibu fokus pada keluarga sendiri maka ibu lebih rileks dan tidak mudah cemberut saat tetangganya manasin mobil. Sementara kita masih manasin sayur tiap hari. Iri dan dengki tidak akan membawa hasil yang bagus. Lebih baik fokus memperbaiki diri dan cinta keluarga.

 

Bantuan dari Profesional

 

Bagaimana jika masih merasa hidup tidak sempurna hanya gara-gara tidak bisa nonton konser atau tak punya uang untuk traveling ke luar negeri? Semua hal jadi terasa menyebalkan. Padahal THR sudah cair dan makanan juga tersedia.

 

Selain belajar mensyukuri keadaan, coba minta bantuan dari profesional. Misalnya konselor keluarga atau psikolog. Nanti akan dilihat akar masalahnya.

                                                Unsplash

 

Bisa jadi ibu merasa harus sempurna karena didikan dari kecil seperti itu. Akibatnya anak juga dituntut untuk jadi nomor satu dan ia malah stress. Akhirnya sang anak merasa ibu tidak sayang padanya.

 

Dengan konsultasi ke profesional maka bisa ditemukan solusinya. Ibu belajar untuk rileks dan tidak menuntut. Sementara anak juga paham bahwa ibunya punya luka di masa lalu. Mereka jadi saling mengerti dan memaafkan.

 

Jangan Ragu untuk Delegasi Tugas

 

Kalau ibu lelah, tak ada salahnya beli lauk matang, toh juga tidak setiap hari. Baju bisa dimasukkan ke laundry atau minta tolong jasa seterika (jika lebih suka mencuci sendiri). Saat lelah bebersih, istirahat dulu 10 menit baru dilanjutkan lagi. Tidak ada yang marah kalau kita rehat sejenak, bukan?

                                                       Pexels

Delegasi tugas amat penting demi kewarasan ibu. Cara lain bisa dengan bantuan mesin, misalnya vacuum cleaner terbaru, dish washer, dll. Intinya, jangan terlalu capek atau ingin sempurna dalam mengurus rumah, sampai kelelahan dan merasa ‘diperbudak’ oleh ambisi sendiri.

 

Anak-anak Butuh Ibu yang Bahagia

 

Percayalah bahwa anak lebih butuh ibu yang bahagia, bukan ibu yang sempurna. Mereka ingin sosok ibu yang hangat dan penuh kasih. Bukannya ibu galak dan suka mencubit paha, yang mengawasi belajar sambil bawa penggaris (untuk dipukul jika anak melakukan kesalahan).

                                             Unsplash

 

Anak lebih suka tinggal di rumah yang biasa saja, bukan yang kinclong luar biasa tapi ibunya menangis karena kelelahan. Untuk apa mengejar kesempurnaan? Demi tampilan keren di media sosial? Lebih baik prioritaskan waktu istirahat dan delegasikan tugas, daripada melakukan semuanya sendiri tapi akhirnya gampang marah, dan anak-anak jadi korban KDRT.